Hari Rabu Pekan Biasa I
Bacaan I: 1 Sam. 3:1-10, 19-20
Bacaan Injil: Mark. 1:29-39
Penaclaret.com – Pada 1890, Georgiana Kingscote (1860-1908) atau dikenal dengan nama penanya Lucas Cleeve, menerbitkan buku berjudul Tales of the Sun: kumpulan cerita rakyat Pandit Natesa Sastri. Dengan nuansa hinduisme karya ini lahir dari rasa kagum cerita rakyat orang India yang melibatkan sihir, dewa, dan elemen lainnya— demikian tertulis dalam pengantar. Salah satu kisah yang saya sukai dari Tales of the Sun adalah “The Mother-in-Law became an Ass”, Ibu Mertua menjadi Seekor Keledai.
Di situ, Kingscote berkisah tentang seorang Brâhmaṇi yang disiksa menantu perempuannya. Dia lalu menyepi ke sebuah kuil runtuh, tempat Dewi Kâlî. Sang Dewi yang iba akan nasibnya, menyuruhnya makan sebuah mangga dan secara ajaib, ibu Brâhmaṇ pun berubah menjadi gadis muda yang jauh lebih kuat dari menantunya. Istri Brâhmaṇ yang mengetahui bahwa mertuanya menjadi muda semenjak ke kuil lalu membujuk ibu kandungnya melakukan hal yang sama. Sayangnya, Sang Dewi malah mengubah ibu kandung si anak menjadi seekor keledai. Adapun Brâhmaṇ yang tidak mendapati mertuanya di rumah lalu bergegas mencari. Dia mendapati ibu mertuanya telah berubah menjadi keledai usai memakan mangga pemberian Kâlî. Brâhmaṇ lalu meletakan ibu mertuanya di atas pundak dan membawanya pulang. Dalam perjalanan mendekati rumah, ibu mertuanya itu mulai meringkik dengan nada yang tinggi dan murung, namun si menantu tetap menyertai (hal. 107).
Cerita rakyat Kingscote ini menjadi asal muasal peribahasa orang-orang Tamil saat ini, Vara vara mâmi kaludai pôl ânâl̤, “sedikit demi sedikit ibu mertua menjadi keledai, atau ûr varumbôdu ûlaiyida talaippattal, “dan ketika mendekati desa, dia mulai meringkik”— sebagai analogi Menantu Pria yang mengasihi mertuanya dalam kemalangan.
Para sahabat pena Claret! Kalau saya tidak berlebihan, cerita rakyat India Selatan Kingscote, membantu untuk melihat karakter lain murid si batu karang, Petrus sebagai menantu berbakti. Layaknya Brâhmaṇ menjemput mertuanya, demikian pun Petrus “bersama murid lainnya” memberitahu Yesus tentang ibunya yang sakit demam, πυρέσσειν (pūressein): sakit parah (big fever). Namun berbeda dengan Kingscote, Injil Markus punya ending bahagia, karena Yesus yang “memegang, membangunkan, dan melenyapkan” demam si mertua. Markus bahkan menempatkan kata “membangunkan” dengan termin ἠγέρθη (egerthe), kata yang sama dengan yang ada dalam catatan Markus tentang Kebangkitan (Mark 16:6).
Saya menduga, kisah Markus ini bukan hanya cerita tentang penyembuhan ajaib Yesus layaknya keajaiban Dewi Kâlî. Sebaliknya, Markus membuat hubungan langsung dengan Kebangkitan Yesus. Mertua Petrus telah diselamatkan dari kematian dan dibawa ke dalam bentuk kehidupan baru yang ditentukan oleh pelayanannya, diakonew (Mark 1:31), mirip diakonia yang berarti pemuridan Yesus. Dan itu ditentukan oleh iman. Tidak keliru bila Benediktus XVI pernah menyebut bahwa, “Bahkan dalam menghadapi kematian, iman dapat memungkinkan apa yang tidak mungkin secara manusiawi”. Lantas apa yang dapat diambil dari kisah ini?
Para sahabat pena Claret! Salah satu bagian tersulit dari penderitaan sakit adalah rasa kesepian dan keterasingan. Terlepas dari upaya terbaik keluarga maupun kolega, dunia kita bisa menjadi sangat kecil, terbatas pada kamar, tempat tidur, atau bahkan tubuh kita sendiri. Salah satu realitas penyakit yang paling sulit dan paling mengisolasi adalah bahwa, pada akhirnya, tidak ada yang benar-benar dapat memahami apa yang kita rasakan. Sangat mudah untuk memahami mengapa mereka yang menghadapi penyakit serius atau kronis terkadang kehilangan harapan.
Saya ingat tiga orang pelukis ternama yang sempat menjadikan kisah penyembuhan mertua Petrus ini sebagai inspirasi. Yang pertama adalah Rembrandt (1606-1669). Master Belanda ini melukis dengan sangat personal, yakni Yesus menggenggam tangan si mertua dan mengangkatnya. Tidak ada tokoh lain. Selanjutnya pelukis Perancis Jacques Tissot (1836-1902), yang kendati mirip Rembrandt, ia menambahkan satu tokoh lain yang umumnya ditafsir Petrus. Dan yang paling saya sukai adalah yang terakhir, pelukis Inggris John Bridges (1818-1854). Berbeda dengan Rembrandt dan Tissot, Bridges memperluas lukisannya dengan sembilan orang, dengan empat lagi di latar belakang (12 Rasul seluruhnya). Selain itu, jika dua pelukis sebelumnya menggambarkan si mertua yang terbaring di lantai, Bridges justru menempatkannya di atas tempat tidur.
Para sahabat Pena Claret! Menjadi murid Yesus berarti menyertai Dia di dalam misi-Nya. Atau jika ingin lebih, menjadi “Mereka yang segera memberitahukan keadaannya kepada Yesus” (Mark 1:30). Semoga dengan tindakan yang ‘lebih’ itu, semua orang-orang malang dapat mengidungkan bait pertama dari Mazmur tanggapan hari ini, “Aku sangat menanti-nantikan Tuhan; lalu Ia menjengukku dan mendengar teriakku minta tolong”. Semoga.
Misionaris Claretian di Medan