Syarat Pertama Bersedekah ala Paus Fransiskus: Tatap Mata yang Diberi

Syarat Pertama Bersedekah
Gambar: Ilustrasi Sedekah yang Lahir dari Tatapan yang Berbelaskasihan

ClaretPath.com – Syarat pertama bersedekah adalah menatap mata mereka yang diberi. Tanpa tatapan mata, kita hanya akan menjadikan mereka objek pemberian tanpa belas kasihan.

Sebaliknya, tatapan mata kita pada mereka yang sedang membutuhkan akan mampu menggerakan hati sehingga kita berbelaskasihan pada mereka. Tatapan membuat kita memahami permasalahan dan pergulatan mereka. Dengan menatap mereka, kita masuk dalam realitas penderitaan mereka. Persis fakta penderitaan inilah yang mampu mendorong kita bersedekah dengan tulus ikhlas.

“Jika Anda memberi sedekah tanpa menyentuh realitas, tanpa melihat ke dalam mata orang yang membutuhkan, sedekah itu (kembali) bagi Anda, bukan bagi orang yang sedang membutuhkan itu. Renungkanlah hal ini! Apakah saya menyentuh penderitaan, terutama penderitaan orang yang sedang saya bantu? Apakah saya menatap mata mereka yang menderita, orang-orang yang sedang saya bantu?”

(Paus Fransiskus, Angelus Minggu 10 Juli 2022)

Demikian gugat Paus Fransiskus ketika mengajak seluruh umat Katolik untuk merenungkan kepribadian “sesama manusia yang sejati” (Luk 10:29, 36-37) ketika menjelaskan kisah orang Samaria yang murah hati dalam Bacaan Injil Liturgi Hari Minggu Biasa XV (10/07/2022).

Menurut Paus Fransiskus, ada dua syarat untuk bersedekah dengan benar sehingga menjadi sesama manusia yang sejati, yaitu menatap dan berbelaskasihan.

Pertama, menatap. “Injil mengajarkan kita untuk melihat (red. menatap) – Injil menuntun setiap kita untuk secara benar memahami realitas, mengatasi prasangka dan dogmatisme setiap hari. Terlalu banyak orang beriman yang bersembunyi di balik dogmatisme untuk menutup diri mereka dari realitas.” Demikian kata Paus Fransiskus menafsir sikap ketiga tokoh berhadapan dengan orang yang jatuh ke tangan para penyamun di jalan ke Yerikho dalam narasi orang Samaria yang murah hati: seorang imam, seorang Lewi, dan seorang Samaria.

Baca juga :  Humility, Obedience And Silence As The Heart Of Monastic Life

Seorang imam dan seorang Lewi melihat orang yang menderita di jalan itu, tetapi mereka mencari jalan lain untuk menghindar dari realitas penderitaan itu. Keduanya melihat orang itu, tetapi berbuat seolah tak melihat dia. Mereka justru memilih “melewatinya dari seberang jalan” (Luk 10:31-32).

Berbeda dari kedua tokoh tersebut, orang Samaria justru memilih untuk melalui jalan itu, bahkan “ke tempat itu” (Luk 10:33). Ia memang “sedang dalam perjalanan”, mungkin sebagai seorang musafir, kata Paus Fransiskus. Namun, di dalam perjalanannya sebagai musafir itu, dia mampir dan mendekati orang yang sedang menderita itu.

Baca juga :  Terang dalam Dunia Yang Gelap (Refleksi Kebebasan menurut Nikolai Berdyaev)

Karena orang Samaria itu mendekat, ia mampu melihat dengan jelas fakta penderitaan yang sedang dialami orang itu, sehingga hatinya tergerak oleh belas kasihan. Persis di sinilah titik start mengapa “tatapan” disebut Paus Fransiskus sebagai syarat pertama bersedekah: “…ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan” (Luk 10:33).

Sampai di sini, kita dapat membedakan dua sikap bertindak berhadapan dengan realitas penderitaan. Seorang imam dan Lewi melewati orang itu dari seberang jalan, sedangkan orang Samaria itu justru menuju ke jalan itu. Imam dan Lewi melewatinya, sedangkan orang Samaria berhenti untuk melihatnya. Hasilnya sungguh beda: imam dan Lewi melihat orang itu, tetapi seolah tak melihatnya sehingga tak ada tindakan apapun, sedangkan orang Samaria melihat, lalu mendekat untuk menatap orang yang menderita itu sehingga hatinya tergerak oleh belas kasihan.

Kedua, belas kasihan. Tatapan melahirkan belas kasihan. Menatap mata orang yang menderita mampu menggerakan hati kita untuk berbelaskasihan. Tanpa tatapan, kita akan bersikap apatis, kata Paus Fransiskus. Kita menjadi tidak peduli pada penderitaan. Kita tak akan pernah berniat untuk bersedekah.

Ada banyak kelompok yang menamakan diri donatur dan pemberi sedekah, tetapi sayang…, mereka memberi tanpa berbelaskasihan. Tidak sedikit orang yang menyumbangkan materi untuk membantu para korban bencana atau untuk membangun gedung publik tertentu. Namun sayang…, nama mereka terukir indah pada laman depan media atau pada prasasti dan tiang-tiang bangunan. Judulnya sebagai ucapan terima kasih, tetapi selalu terbungkus hasrat untuk populer dan dikenang sepanjang masa.

(Fenomena Zaman Now)

Paus Fransiskus mengajarkan kita satu hal istimewa dalam bersedekah, yaitu belas kasihan. Tanpa belas kasihan, makna pemberian kita “kembali kepada diri kita sendiri”. Itulah sebabnya Paus Fransiskus mengajak kita untuk bersedekah karena terdorong oleh hati yang berbelaskasihan. Namun, belas kasihan itu tak jatuh dari langit. Hati yang berbelaskasihan selalu lahir dari pertemuan tatapan hangat di antara pemberi sedekah dan mereka yang membutuhkan sedekah.

Baca juga :  Pembangunan dan Tawaran Kebebasan Amartya Sen

Singkat kata, tatapan melahirkan belas kasihan. Alasannya sederhana: di dalam setiap tatapan terjadi komunikasi antarhati, sehingga realitas penderitaan dipahami dan hati pun tergerak oleh belas kasihan. Dengan demikian, sedekah tidak lagi berkedok hasrat untuk populer, tetapi justru untuk menyelamatkan kehidupan.