“Hanya dengan memberi diri kepada yang lain, aku menjadi kita dan kita adalah benar-benar kita kalau kita bagi yang lain. Inilah alasan filosofis-teologis mengapa Yesus mengajarkan kepada para murid-Nya bahwa: Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang menyerahkan nyawanya demi sahabat-sahabatnya. Lebih lanjut, Yesus menyapa para murid dengan sapaan penuh kasih:Vos Amici Mei Estis-Kamulah sahabat-Ku (bdk.Yoh. 15:13-14).”
Prolog: Faktisitas Hidup Manusia
Claretpath.com-Kita hidup dalam dunia yang serba terlempar. Apa saja yang kita lakukan selalu terlempar masuk ke dalam beranda Tik-tok, YouTube, Facebook, atau pun status WhatsApp kita. Hanya sesuatu yang sudah terlempar masuk ke dalam kehidupan online kita, itulah yang eksis dan laku. Mestinya segala jenis keterlemparan ini melemparkan kita pada sesuatu yang lebih baik daripada sebelumnya. Bukan sebaliknya. Ironisnya bahwa kini bukan hanya sekadar gambar, video atau suara yang mengalami keterlemparan ke dalam “clouds” tetapi juga manusia. Alih-alih melemparkan cuplikan-cuplikan hidupnya saja, manusia malah ikut terlempar masuk bersamanya.
Hidup sebagai suatu keterlemparan ini tampak berkonotasi negatif bahkan berpotensi melukai dan membunuh (Heidegger). Tapi begitulah hidup. Absurd, faktisitas dan tak terprediksi (Albert Camus). Kita tidak bisa hanya ada untuk hari kemarin, kecuali jika itu adalah kehendak Allah. Atau kita tidak bisa bekerja secara offline terus di masa sekarang. Tapi, terkadang kita harus terlempar keluar dari hari kemarin menuju hari ini dan dari dunia nyata menuju dunia maya.
Situasi Batas
Di dalam faktisitas hidupnya, manusia kerapkali terbentur kesana-kemari. Benturan-benturan kehidupan yang dialaminya pun amat bervariasi. Ada benturan yang ringan. Ada pula benturan yang amat keras. Alhasil, manusia menjadi linglung dan hilang harapan. Tawa ria berganti air mata. Begitu pun sebaliknya.
Sederet peristiwa dan fenomen kehidupan yang amat kompleks dan membinggungkan ini mau tidak mau harus dialami oleh manusia sebagai akibat dari faktisitas hidupnya. Ada sebagai hidup yang terlempar ke dalam dunia adalah suatu ada yang niscaya akan bersua dan bergulat dengan apa yang dikatakan oleh Karl Jasper sebagai Grenzsituation-Situasi batas.
Situasi batas adalah sebuah titik akhir dari fluktuasi hidup manusia. Ketika manusia mencapainya ia menjadi bungkam. Hilang akal dan kehabisan kata-kata. Yang tersisa hanyalah tetesan air mata yang mulai membasahi muka sebagai kosakata terakhir manusia di hadapan grenzsituation (Richard Rorty). Sebab apa yang dicita-citakan atau direncanakannya secara matang dan logis menjadi ambruk. Amburadul dan kacau-balau. Realita hidupnya malah selalu menampilkan sesuatu yang lain sama sekali.
Sebuah Jalan Buntu
Pada tapal batas kehidupannya itu manusia pun menemui sebuah “jalan buntu-Differance” (Jacques Derrida). Sebuah jalan hidup yang tanpa makna dan selalu tak terpahami. Di ujung jalan “differance” itu manusia pun akhirnya terhenti. Ia yang selalu berceloteh dan menari dengan kata-kata indah kini menjadi bungkam. Bukan hanya mulut tapi budinya pun ikut membungkam sebab (ada) hidup menampilkan sesuatu yang buntu dan lain sama sekali. Differance-Difference.
Seturut ide Derrida, satu-satunya hal yang bisa manusia lakukan agar keluar dari jalan buntu itu adalah keyakinan dan keberanian. Manusia harus memiliki keyakinan yang tidak lain dan tidak bukan adalah sebuah daya mistik yang entah apa dan bagaimana mendorong manusia untuk mengambil sebuah keputusan; berbalik atau terus melaju melintasi jalan buntu itu. Kecuali itu juga, manusia sangat disarankan untuk memiliki kekuatan lain yakni, keberanian. Keputusan untuk berbalik atau terus melintasi jalan buntu itu hanya akan terealisir bila manusia didorong oleh keberanian, yaitu suatu sikap hidup yang tidak terlalu takut dan tidak juga terlalu nekat (Aristoteles).
Pahlawan: Parletre atau Parlente?
Setiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia merayakan hari pahlawan nasional. Peristiwa heroik dan bersejarah yang dimulai pada tahun 1945 di Surabaya itu kini telah tercatat sebagai sebuah sejarah yang bukan hanya ditulisi dengan tinta tetapi dengan darah para pahlawan.
Menulis itu sendiri menurut sastrawan ternama Indonesia, Pramoedya Ananta Toer adalah suatu pekerjaan keabadian. Baginya, menulis berarti menghidupkan yang mati bukan mematikan yang hidup. Persis pada titik inilah para pahlawan mencapai keabadiannya. Mereka memang telah tiada tetapi nama atau lebih tepatnya ‘the fighting spirit’ mereka masih terus membara dan hidup abadi di dalam ingatan kolektif bangsa Indonesia. Pendek kata, keabadian para pahlawan itu selain terletak pada daya juang mereka di medan tempur, rupanya juga terletak pada satu kebiasaan unik manusia yakni, kebiasaan menuturkan nama-nama mereka bukan saja per 10 November tetapi setiap saat.
Meski begitu, apakah kita lalu sepakat begitu saja dengan konsep Jacques Lacan tentang manusia (Pahlawan) sebagai “parletre” atau bahkan parlente? Tentu saja tidak! Alasannya bahwa bila kita mengamini konsep manusia-pahlawan Lacanian sebagai parletre, maka pahlawan itu tidak lebih dari sekadar tuturan belaka. Artinya bahwa, seseorang akan dianggap sebagai pahlawan bila namanya terus-menerus dituturkan atau diperbincangkan. Atau dalam formulasi logika sarkastiknya, seorang pahlawan tidak akan dikenal atau bahkan diakui bila namanya tidak dituturkan secara terus-menerus atau mati bersama tubuhnya di dalam sejarah.
Alhasil, kosakata tentang nama dan diri si pahlawan itu akan hilang dan mati sia-sia di dalam sosialitas suatu kelompok manusia tertentu. Bila benar demikian, maka ini sungguh sangat disayangkan. Mengapa? Sebab pahlawan itu adalah dia yang telah mengalami dan melampaui (beyond) situasi batas ala Karl Jasper. Seorang pahlawan tidak hanya melibatkan diri dalam tindakan heroik belaka tetapi juga dia yang penuh dengan keberanian, ketulusan dan kelembutan hati; melindungi dan mencintai sesamanya dengan penuh gairah bahkan sampai pada taraf pengorbanan bukan sekadar berjasa saja!
Sakitmu-Sakitku
Di dalam perjalanan spiritual yang menghubungkan langit dan bumi, terdapat pahlawan-pahlawan yang mengemban tugas suci. Mereka bukan hanya pejuang dalam medan pertempuran lahiriah, melainkan juga pelaku keadilan dalam medan spiritual. Mereka adalah orang-orang beriman yang ‘bertempur’ hingga darah penghabisan terakhir demi menggapai ‘tanah air surgawi’, yaitu persekutuan abadi bersama Kristus, Sang Penyelamat. Para pahlawan Kristus yang dengan penuh keyakinan dan keberanian bertempur demi iman dan hidup mereka sendiri itu pun, akhirnya mengalami ‘keharuman abadi’ sebagai orang kudus di dalam gereja.
Sakitmu sakitku merupakan sebuah frasa yang menjadi richa, atau aforisme suci, yang merefleksikan keesaan dalam kompleksitas kehidupan ini. Dalam setiap penderitaan yang mereka alami, pahlawan-pahlawan ini membawa beban tidak hanya sebagai ujian pribadi, tetapi sebagai bagian dari rencana Ilahi yang lebih besar. Sakit yang dirasakan oleh pahlawan adalah cermin dari penderitaan umat manusia, dan melalui pengorbanan mereka, cahaya Ilahi menyinari jalur kebenaran.
Aforisme suci, yang terkonstruksi dalam frasa sakitmu sakitku ini, mengandung makna bahwa setiap pengorbanan pahlawan adalah cermin dari pengorbanan yang lebih besar, yaitu pengorbanan Kristus Sang Penebus. Dalam perjalanan mereka, pahlawan-pahlawan itu memahami bahwa setiap luka yang mereka tanggung membawa bersama esensi penyembuhan, seperti luka-luka yang dialami oleh Sang Penebus segala sesuatu.
Aforisme Suci
Dalam pertarungan melawan kegelapan, pahlawan-pahlawan spiritual mengemban misi untuk menyalakan cahaya kebenaran. Sakit yang mereka alami bukanlah hukuman, melainkan suatu cara untuk menyucikan jiwa dan mengajarkan bahwa kehidupan ini adalah suatu perjalanan rohaniah yang terikat oleh ikatan tak terlihat, yaitu Roh Allah sendiri (Roh Kudus).
Di dalam aforisme suci, sakitmu sakitku ini terpahat suatu harapan akan pemulihan dan penyatuan. Pahlawan-pahlawan spiritual membawa pesan bahwa dalam bersatu melalui penderitaan, manusia dapat mencapai tingkatan spiritual yang lebih tinggi, mengangkat diri mereka menuju cahaya keabadian. Dengan merangkul sakit bersama, pahlawan-pahlawan itu memimpin umat manusia menuju pemahaman yang lebih dalam tentang kehadiran Ilahi dan makna sejati dari persatuan dalam kompleksitas dan absurditas hidup ini.
Pahlawan Akusatif
Akhirnya, setiap tetesan darah para pahlawan dan goresan tinta singkat dalam tulisan ini, menghantarkan kita pada suatu kerangka berpikir filosofis-religius yang agak lain bahwa pada titik tertentu sekurang-kurangnya pada titik ini, pahlawan itu akusatif bukan nominatif (Emmanuel Levinas). Konsep pahlawan akusatif ala filsuf wajah ini, begitu filosofis dan religius sebab menawarkan sebuah kerangka berpikir yang agak lain dan memang ini semua tentang Yang-Lain, yaitu tentang pahlawan (Liyan; The Other).
Istilah pahlawan akusatif ini merujuk pada seorang pahlawan hidup yang di dalam perjumpaannya dengan Yang-Lain terutama orang-orang kecil, miskin, sakit dan kelaparan, dlsb…ia merasa diri dituduh seolah-olah dialah penyebab dari wajah-wajah orang kecil, miskin dan lapar itu ada. Dia tidak lagi menyadari dirinya lagi sebagai subjek (nominatif-nominativus) tapi lebih sebagai dia yang tertuduh (akusatif). Atas dasar kesadaran ketertuduhan dirinya sebagai penyebab dari adanya orang miskin, lapar dan sakit itulah yang kemudian menjadi himbauan atau undangan etis baginya (Pahlawan akusatif) untuk bertanggungjawab. Di dalam tubuh tulisan tentang sakitmu sakitku ini, kita pun akhirnya bisa menemukan dua poin penting yang bisa menjadi bekal pengetahuan dan inspiratif bagi hidup kita, yakni: adanya gerak peralihan dari Yang-Tertuduh menuju Yang-Terusik dan Sakitmu sakitku versi Claret. Mari kita lihat satu persatu.
Dari Yang-Tertuduh Menuju Yang-Terusik
Di dalam Kongregasi Para Misionaris Claretian, St. Antonius Maria Claret selain sebagai pendiri, sejatinya juga merupakan sosok dari pahlawan akusatif itu sendiri. Akan tetapi berbeda dengan Levinas, makna pahlawan akusatif yang dimaksudkan pada St. Antonius Maria Claret di sini adalah pahlawan yang bukan lagi ‘Yang-Tertuduh’ melainkan ‘Yang-Terusik’. Pater Claret selalu merasa terusik dengan keadaan ‘sakit dan lapar’ akibat dosa sesamanya. Hal ini bisa kita sinyalisir lewat tapak-tapak kemuridan misionernya terutama ‘bekas-bekas kakinya’ yang terukir abadi di dalam autobiografinya.
Pada masa kanak-kanak dan awal kerjanya di pabrik tekstil milik ayahnya, St. Antonius Maria Claret sudah mulai memberi sinyal akan spirit-nya sebagai pahlawan akusatif. Dikisahkan dalam autobiografinya bahwa sejak berusia 5 tahun, sang Santo sudah mulai memikirkan keabadian. Bahkan daripada tidur di atas tempat tidurnya sendiri, Pater Claret lebih memilih untuk memikirkan neraka atau siksaan abadi yang dialami oleh para pendosa. ‘selamanya…selamanya…selamanya. Ya, selamanya mereka akan mengalami siksaan abadi itu!’ (bdk. Aut. 8). Dengan ini, menjadi sangat jelas bahwa pahlawan akusatif pada diri Pater Claret itu lebih bersifat misioner daripada filosofis. Itu pulalah yang menjadi alasan mengapa transliterasi pahlawan akusatif Claret lebih dimaknai sebagai pahlawan yang bukan saja tertuduh melainkan terusik dengan pelbagai situasi ketidakberesan pada manusia akibat dosa. Karenanya, sakitmu sakitku.
Selain itu, satu pengalaman kecil yang bisa kita sebutkan di sini sebagai bukti sinyal pahlawan akusatif dalam diri Pater Claret adalah saat dia bekerja di pabrik tekstil milik ayahnya di Barcelona. Pater Claret menulis di dalam autobiografinya bahwa saat para pekerja melakukan kelalaian atau bahkan kesalahan dalam bekerja, ia sangat merasa terganggu dengan sikap orangtuanya yang langsung memarahi setiap pekerja yang malang itu sebab Pater Claret memiliki watak yang lemah-lembut dan penuh belaskasihan.
Epilog: Sakitmu Sakitku ala Claret
Berbeda dengan karakter orangtuanya yang langsung marah, Pater Claret biasanya berusaha untuk ‘memperbaiki’ kesalahan dari para pekerja itu dengan penuh kelembutan dan kasih tanpa melukai hati si pekerja itu sedikitpun. Bahkan Pater Claret sendiri menulis dalam autobiografinya nomor 32, demikian: “Hal yang paling menyakiti saya adalah mendengar orangtua saya memarahi seorang pekerja karena tidak melakukan pekerjaanya dengan baik. Saya yakin saya menderita jauh lebih daripada dia yang ditegur karena saya sangat lembut hati sehingga bila saya melihat seseorang menderita saya merasakan penderitaannya lebih daripada dia”. Ungkapan hati Pater Claret inilah, yang kemudian bisa kita interpretasi dan ringkaskan sebagai isi dari tulisan ini, yakni: Sakitmu sakitku. Semuanya itu kemudian Pater Claret akui dan syukuri sebagai anugerah sekaligus sarana untuk bermisi dari Yang-Ilahi; Yang Maha lembut dan berbelaskasih (bdk Aut.30-35).
Sumber Bacaan:
Autobiografi St. Antonius Maria Claret
A. Widyamartaya. (translator), Lacan untuk pemula. Yogyakarta: Kanisius. 2002.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1996.
F. Budi, Hardiman. Aku Klik Maka Aku Ada. Manusia dalam Revolusi Digital. Yogyakarta: Kanisius. 2021.
F. Budi, Hardiman. Heidegger dan Mistik Keseharian. Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit. Yogyakarta: Kanisius. 2016.
J. B. Suharjo B. Cahyono. Is Suffering the Enemy? Bertumbuh Dalam Rasa Sakit dan Penderitaan. Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama. 2019.
Jegalus, Norbertus. Hukum Kata Kerja. diskursus filsafat tentang hukum progresif. Jakarta:Obor. 2011.
Lukman, Lisa. Proses Pembentukan Subjek. Antropologi Filosofis Jacques Lacan. Yogyakarta:Kanisius. 2011.
Rorty, Richard. Contingency, Irony and Solidarity. USA: Cambridge University Press, 1989.
Sihotang, Kasdin. Filsafat Manusia: jendela menyingkap humanisme. Yogyakarta:Kanisius. 2018.
Mahasiswa Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira-Kupang. Pencinta kopi, senja dan novel Jonathan Livingston, Karya Richard Bach.