Senin, 13 Juni 2022, Pekan Biasa
Bacaan I: 1Raj 21:1-16
Bacaan Injil: Mat 5: 38-42
Kain-Habel, Esau-Yakub, Yusuf-saudara-saudaranya, Israel-Mesir, Daud-Saul, Nabot-Izebel-Ahab hingga Yesus-bangsanya adalah pementasan kisah suci nan legal tentang dendam, kuasa, serakah, hukuman, rasa malu, luka, duka, juga pengampunan, rekonsiliasi, sukacita, bahagia, dan tentunya menyinggung manusia: “keyakinannya, keraguannya, hasratnya, pergulatannya, subyektivitasnya, kefanaannya, kemustahilannya, dan anomalinya”. Itu kisah tentang manusia-manusia dengan dua garis ektrem, baik-jahat atau korban-pelaku. Meski harus disadari, garis tengah yang memisahkan kedua kata itu sangat tipis sehingga dapat dibaca sekaligus sebagai subjek. Namun tentang tipisnya garis tengah, baik kalau ditafsirkan sebagai narasi yang membatalkan praduga: Nabot yang menolak permintaan Ahab, Raja Israel, dan Ahab yang tak bisa mengontrol perasaannya sendiri menjadi narasi yang mendukung pemfiguran sosok Izebel, pembunuh berdarah dingin.
Yesus sadar akan hal itu, oleh karenanya, Ia ingin agar lekang hukum retributif “mata ganti mata, gigi ganti gigi” yang menjadikan manusia serigala bagi sesama, atau jika tidak, hanya menjadi perundung dan pemaki, dan mengajarkan agar musuh tidak diperkarai. Kendati, ucapan Yesus menua, petuahnya selalu punya ruang untuk diabdikan. Minimal dalam sejarah manusia, pernah ada musuh diampuni. Manusia bukan iblis yang berperkara dengan Allah hingga Ayub menanggung pedihnya konspirasi kekal, Yang Jahat dan Yang Baik.
Jadi pengampunan bukan termin sederhana yang ditemui dalam sejarah bangsa manusia. Kata tersebut punya kedalaman intensionalitas, “korban yang membuka lukanya, dan pelaku yang menanggung beban rasa malu karena dihadapkan pada mala yang timbul akibat khilafnya”. Tegangan inilah yang dalam kosa kata kita disebut rekonsiliasi.
Tentu kita ingat di tahun 2014, The New York Times pernah menerbitkan esai foto yang menampilkan pelaku Hutu dan korban Tutsi dari Genosida Rwanda 1994. Mereka difoto berpasangan. Di dalam foto, korban ada yang berdiri, duduk, bahkan berbaring di samping pelaku yang merengggut segalanya: keluarga dibantai, rumah dibakar, dan harta dijarah. Mereka, korban dan pelaku ini, bangkit dari kekerasan masa lalu yang mengoyak mereka untuk menciptakan apa yang disebut oleh para pembuat profil sebagai “potret rekonsiliasi”.
Sebagaimana dikatakan, “pengampunan” menuntut kedua belah pihak untuk melihat secara jujur pembunuhan dan penghancuran di masa silam. Luka-lukanya dibiarkan terbuka dan tetap tidak bisa dihapus, sementara pelaku menempatkan dirinya pada belas kasihan korban. Keduanya tidak melupakan apa yang terjadi beberapa dekade sebelumnya, namun tidak memaksa yang lain untuk tetap di sana. Sebaliknya, mereka menempati ruang yang sama bersama di masa sekarang untuk mulai membangun masa depan bersama melalui tindakan nyata, terutama tindakan yang dilakukan oleh pelaku yang telah diampuni. Seperti yang dikatakan Cansilde Munganyinka (korban) kepada Dominique Nbahimana (pelaku):
Setelah saya diusir dari desa dan Dominique bersama yang lainnya menjarahnya, saya menjadi tunawisma dan gila. Kemudian, ketika dia meminta maaf kepada saya, saya berkata: “Saya tidak punya apa-apa untuk memberi makan anak-anak saya. Apakah kamu akan membantu membesarkan anak-anak saya? Apakah kamu akan membangun rumah untuk mereka?” Minggu berikutnya, Dominique datang dengan beberapa penyintas dan mantan tahanan yang melakukan genosida. Ada lebih dari 50 dari mereka, dan mereka membangun rumah untuk keluarga saya.
Pengampunan tidak terbayangkan, tetapi rumah yang dibangun Dominique adalah gambaran rekonsiliasi. Di titik ini, kita sadar bahwa rekonsiliasi itu tidak mudah, karena ia menuntut dan mahal. Butuh waktu dan kreativitas dari pihak yang dirugikan dan pelakunya.
Para Sahabat Pena Claret! Dalam lingkungan media kontemporer, visibilitas adalah validitas dan kekuatan adalah ucapan. Sebagai pembalasan untuk pelaku, visibilitasnya diperbesar dengan cepat kemudian dicabut, dan ucapannya disiarkan secara luas kemudian diredam. Mereka akan dilupakan, kecuali pelanggarannya— monumen Konfederasi— seolah-olah tujuannya adalah untuk menjatuhkan mereka dan melupakan mereka selamanya, menghapus pelaku! Masalahnya, kecendrungan ini menyebabkan setiap pelaku lalu menyangkal tanggung jawab dan menyembunyikan kebenaran. Tidak ada kemungkinan untuk rekonsiliasi pada titik mana pun.
Yang terjadi antara pelaku Hutu dan korban Tutsi di Rwanda adalah “mereka tidak bisa pergi ke tempat lain—mereka harus berdamai”. Hutu dan Tutsi berbagi ruang di Rwanda, tetapi terlebih lagi, ruang kota, desa dan pasar. Karena mereka berbagi ruang, mereka harus hidup terpisah satu sama lain dalam permusuhan atau hidup bersama dalam damai. Dan di ruang itu, apakah itu ruang bangsa, ruang komunitas, atau ruang rumah tangga, mereka yang berani mencoba rekonsiliasi mengungkap kebenaran yang sering diabaikan.
Harus diakui, memang selalu ada harga yang harus dibayar para korban untuk menempuh jalan ini. Pertanyaannya, berapa harga yang harus dibayar para pelaku? Kebenaran. Mereka harus mengatakan yang sebenarnya. Itulah harga untuk dapat berkontribusi pada masyarakat baru yang harus mereka bangun bersama dengan mereka yang sebelumnya tertindas. Mereka berutang kebenaran kepada semua orang. Dan justru, masa depan Rwanda dibangun dari tindakan kejujuran ini, bahwa kita tidak akan pernah menjadi lebih baik dari kita jika kita terus merindukan hidup terpisah.
Akhirnya, tidak ada yang utuh jika ada yang terhapus. Pengalaman Rwanda membuat kita sadar musuh yang diampuni dapat menjadi teman seperjalanan di ruang yang sama, di bumi. Bukan hanya dapat, bahkan pernah. Dengan demikian ungkapan
“kesalahan adalah manusiawi dan meminta maaf adalah ilahi” justru menciptakan utopia yang seolah sulit direngkuh oleh kefanaan manusia. Yesus total mengampuni di kayu salib dalam kepenuhan-Nya, total-Nya, totus in nostris-Nya, sebagai manusia. Karena keilahiannya adalah penebusan bagi semua, serta jaminan untuk hidup di dalam Kota Keabadian Allah. Itulah janji-Nya untuk kita semua, korban dan pelaku.
Misionaris Claretian di Medan