ClaretPath.com – Pojok, 25 Januari
Di Kentungan, Yogyakarta
Lonceng kapel Paulus, Seminari Tinggi Kentungan, Yogyakarta mulai berdentang. Kidung pembuka mengalun syahdu. Kali ini burung kenari pun cemburu. Jam dinding menunjuk pukul 09:00 WIB. Dari sudut matahari terbenam, barisan panjang berjubah putih keemasan mulai menampakkan diri. Mentari pagi yang menyelinap di antara ventilasi rumah memantul tepat di punggung mereka, mencipta daya pikat auratis.
Tidak seperti biasanya, kali ini barisannya cukup panjang. Ayunan langkah pun seirama jari sang pianis memainkan melodi; tenang dan anggun menyusuri koridor panjang itu. Seolah ada kontak batin antara mereka dan si pianis. Kedua tangan terkatup rapat dan dipadankan ke dada laksana bocah yang baru pertama kali menerima hosti kudus. Senyuman yang bertebar di wajah-wajah itu menjadi mantra yang menghipnotis bola mata yang memandangi. Seorang pengamat mungkin akan bertanya, kapan rasa bosan muncul?
Beberapa menit telah pergi selamanya. Barisan panjang itu hampir usai. Penampakan ujung tongkat keemasan dan mitra dari kejauhan kiranya sudah bisa ditebak; siapa penjaga barisan terbelakang. Makin lama makin jelas Mgr. Robertus Rubiyatmoko dan enam belas pria muda yang berjalan mendahuluinya. Seperti penjaga barisan terdepan, monsinyur pun tak ingin kalah. Tongkat yang ujungnya melengkung itu tak menjadi halangan uskup Agung Semarang itu untuk melambaikan tangan pada domba-dombanya. Kerinduan wajah-wajah yang sudah lama tak jumpa itu terbayar dengan senyuman monsinyur yang terkenal humoris itu.
Bisikan kecil mendesis ramai dari berbagai arah mata angin. Seakan ingin menyapa, tapi tidak punya banyak keberanian. Rupanya suara-suara itu mengenal juga enam belas pemuda berjubah putih dan pinggang terikat itu. Yah, merekalah keenambelas pria yang terpampang di poster undangan misa pentahbisan diakon; yang ramai dibagikan di story whatsapp dan instagram sejak beberapa hari yang lalu. Di antara deretan itu ada tiga putra Claretian. Mereka adalah Fr. Cesar Agostinho Amaral, CMF (Cheis), Fr. Reneldus Maryono Paing, CMF (Yono), dan Fr. Yulius Cherlyono Ne’ong, CMF (Chelo).
Bukan Kamu yang Memilih Aku
Bertepatan hari itu (25/01/2023) Gereja sedang merayakan Pesta pertobatan Rasul Paulus. Setelah ditangkap Kristus, Paulus membaktikan seluruh sisa hidupnya bagi pewartaan Injil, demikian ungkap Monsinyur Ruby pada pengantar perayaan pentahbisan itu. Kini peristiwa iman itu hendak diulangi lagi. Hari ini, sama seperti Paulus, keenambelas pria perkasa ini ingin menyerahkan seluruh hidup untuk melayani Allah. Dengan memilih moto, “Bukan Kamu yang Memilih Aku, Tetapi Akulah yang Memilih Kamu”( Yoh. 15:16-17), sesungguhnya merekapun telah ditangkap Kristus seperti Saulus di jalanan tandus menuju Damsyik, lanjut monsinyur.
Dari sudut-sudut tersembunyi, Camera Man sibuk memburu kesan rasa yang mengalir dari ekspresi wajah-wajah itu. Memang tak sia-sia Camera Man itu. Mata tak pernah bohong. Meski logika ingin menyembunyikan sejuta rasa, aurah wajah lebih mudah berkata jujur. Lekukan wajah yang terpampang di layar kaca di balik tembok kapel, melukis jelas luapan isi hati mereka. Tanggapan dialog penahbisan, “Ya, saya hadir, saya siap…, dan saya berjanji …” mempertegas kesekian kalinya aura sukacita dan komitmen yang mantap pemuda-pemuda pilihan itu.
Sukacita dan kekhusyukan perayaan menjadi pedang pembunuh waktu. Seorang ibu paru baya yang memandangi jam tangan mendesis kaget. Tidak terasa tiga setengah jam telah berlalu. Monsinyur berdiri dan mengulurkan tongkat gembala tanda berkat perutusan. Sebentar lagi perayaan akan usai. Keenambelas pemuda yang tadinya memakai jubah putih dan pinggang terikat, kini telah berselubung mantol “putih tulang.” Garis-garis keemasan membelah mantol itu menjadi dua bagian.
Barisan panjang tadi terbentuk lagi. Dalam nada riang, dua baris, berpasang-pasangan, bertolak dari altar menuju pintu keluar. Namun, umat Allah enggan beranjak dari kapel itu. Banyak yang tak sabar menyamperi para Diakon yang pagi tadi masih disapa frater. Demi membayar rasa haru dan bangga, para diakon baru itu berjejer di teras kapel, di ufuk timur. Satu persatu umat Allah berjalan menyalami mereka. Tak ada yang tahu persis jumlah kata “proficiat dan selamat” yang mengganggu gendang telinga di siang itu. tetapi kalau saja diizinkan menebak, ada untaian doa untuk para diakon itu. Ada luapan kebahagiaan dan sukacita. Bahwasanya masih ada pemuda-pemuda aneh yang enggan menikah demi Injil.
Pulang ke Pojok
Diakon Cheis, CMF, Chelo, CMF, dan Yono, CMF, mengundang untuk kembali ke Pojok, sebuah kampung kecil di sudut Kota Istimewa (Jogja). Di Pojok inilah Diakon Chelo dan Yono pernah mengais bekal hidup dan menekuni siasat memenangkan jiwa-jiwa bagi Kristus. Konon syukuran tahbisan Diakon diadakan di Pojok ini sepuluh tahun silam. Karena itu, pulang ke Pojok kali ini adalah pulang ke rumah. Siapa yang tidak rindu rumah? Tak ada tempat di kolong langit ini yang lebih indah dari rumah (kita).
Siang itu meja makan menjadi lebih ramai dari biasanya. Diakon Yono, CMF membuka kesempatan makan siang dengan berkat perdana sontak memicu celotehan yang tak berujung. Para Frater seolah merasa ditantang agar cepat-cepat ditahbiskan. “Maunya cepat sudah eww,” cela Fr. Egy, CMF dalam dialek khas Manggarai.
Sebuah pemandangan yang langkah. Siang itu, banyak hidangan yang tak sempat dihabisi. Padahal menunya sangat memanjakan lidah. Bahkan bagi mereka yang tak lapar sekalipun. Kali ini rasa lapar tak harus dipuaskan dengan makanan. Ternyata canda tawa bisa mengisi ruang-ruang lambung yang kosong. Sayangnya, beberapa orang terpaksa harus meninggalkan ruang makan dengan langkah berat. Karena harus menyiapkan acara syukuran untuk malam nanti.
Pojok di kalah petang
Senja di ufuk Barat semakin merah. Suara azan mulai memanggil pulang insan yang seharian dibakar terik matahari. Langit Pojok makin temaram. Wangi kemenyan dan semburan dupa memenuhi isi kapel Wisma Skolastikat Claretian. Ditemani keheningan, Diakon Chelo, CMF mentakhtakan Sakramen Mahakudus. Momen khusuk itulah awal dari rentetan seremoni pembuka syukuran tahbisan di malam itu.
Gesekan sandal atau entahlah, yang mengasah aspal semakin mendekat – pertanda sebuah kedatangan. Mungkin saja orang-orang Pojok yang juga hendak berbagi sukacita syukuran dengan tiga diakon baru itu. Lagi pula ketiga diakon itu cukup akrab dengan orang-orang Pojok. Bahkan beberapa hari yang lalu beberapa umat telah menanyakan jadwal misa penahbisan diakon.
Antara aroma dan musik
Di ruang tengah aroma aneka makanan siap mengoceh rasa lapar. Sebuah setingan yang sempurna: setelah menikmati santapan rohani langsung disajikan hidangan jasmani. Canda tawa yang sempat hilang siang tadi kembali menyusup masuk. Tapi kali ini semua hidangan tersapu, tiada sisa. Mungkin efek balas dendam atas peluh yang terkuras sore tadi. Hentakan beat musik dari berbagai genre (reggae, dj, ja’i, tebe, bonet, dolo-dolo, dan dangdut) seakan memaksa tuk mempersingkat durasi santap. Volume musik yang semakin meningkat pertanda durasi makan pun harus dipercepat.
Dalam hitungan menit, kursi-kursi yang tersusun rapi kini didepak ke pinggir ruangan. Lengan-lengan saling bergandengan, hentakan kaki dalam satu irama. Biasanya ada seorang pemandu yang meskipun di tengah beat musik yang kencang, aba-abanya masih saja didengarkan. Formasi-formasi baru terus tercipta tanpa perencanaan yang baku. Dan memang itulah kebiasaan orang-orang “Timor” merayakan hidup. Ketiga diakon baru itu pun tak mau ketinggalan. Tak seorang pun yang diperkenankan oleh diakon-diakon itu duduk. Semua harus goyang.
Perpisahan di ujung pertemuan
Lagu terus bergulir dan menggiring jarum jam menuju pukul 22:45 WIB. Belum ada wajah-wajah yang ingin mundur. Meskipun keringat halus mengucur di kening. Udara malam itu menjadi lebih hangat dari malam-malam kemarin. Sayang waktu tidak pernah tawar menawar. Ketiga diakon baru itu mengucap limpah terima kasih untuk kehadiran, sukacita, dan kebersamaan.
Diakon Yono mengakhiri momen itu dengan berkat perutusan dan perlindungan istirahat malam. Suasana perlahan-lahan menjadi syahdu lagi. Orang-orang tersayang yang hendak kembali ke kediaman berpamitan akrab sembari menyayangkan momen itu. Mengapa harus ada perpisahan di ujung perjumpaan? Selamat bertugas Diakon Cheis, Diakon Chelo, dan Diakon Yono. Semoga Tuhan mempertemukan kita di lain kesempatan. Sayonara. Danke banya!
#Pojok, 25 Januari
#Pojok, 25 Januari
Mahasiswa Filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pengagum absurditas Albert Camus