ClaretPath.com – Kehidupan ibunda kongregasi sepertinya menyimpan jejak-jejak kemartiran yang cukup kaya. Bahkan tidak jarang kongregasi kita disebut-sebut sebagai kongregasi para martir. Ada benarnya juga. Banyak sekali putra-putra Kongregasi yang menumpahkan darahnya demi mengibarkan bendera Kristus. Tentu ini baru terhitung kemartiran merah. Masih panjang barisan di belakangnya, di mana banyak orang yang ngos-ngosan, mandi keringat, dan bekerja tanpa jasa demi keselamatan orang lain. Kohlberg (1927–1987) menempatkan komplotan orang-orang ini dalam kelas yang menduduki puncak etika manusia, pengorbanan diri.
Claret di Holguin
P. Claret sendiri berada pada arus utama ini sebagai penggagas kisah. Tujuh (185o-1857) tahun bermisi di Kuba menyelipkan satu narasi yang cukup indah di mana keinginan untuk menjadi martir nyaris terkabulkan.[1] Seisi Holguin menjadi saksi. Misionaris Catalan itu bersikeras menegakkan keadilan di tengah pulau yang sudah tercemari oleh kebobrokan borjuis kulit putih yang menghisap habis masyarakat Negro-Indian.
Suratan Kemartiran Claret
Keinginan Claret untuk menumpahkan darah juga terukir indah dalam suratnya kepada P. Jose Xifre, superior General saat itu, tertanggal 18 Oktober 1868. Kita tentu tahu, tahun-tahun ini adalah memuncaknya revolusi Spanyol dan Gereja menjadi musuh terbesar kaum republikan setelah monarki Sri Ratu Isabella II. Konteks penulisan surat ini adalah, Pasca kemartiran P. Francesco Crusats. Ia menjadi martir pertama dalam Kongregasi.[2] Claret menandaskan bahwa sesungguhnya ia berambisi untuk menjadi martir pertama dalam Kongregasi, tetapi kini orang lain, yakni Crusats, telah mendahuluinya. Di atas semuanya itu, Claret memberi apresiasi atas semua kegigihan putra kongregasi yang tetap mengobarkan gelora cinta akan Yesus tepat di hadapan mulut senjata api. [3]
Ambisi akan kemartiran P. Claret tidak turut terkubur setelah ia menghembuskan napas terakhir di pengasingan Fontfroide, Perancis. Ketika menuliskan surat kepada P. Jose Xifre, Superior General saat itu, ia membeberkan secara ringkas model kemisionarisan, yaitu Konstitusi Claretian No. 9. Para Claretian menyebutnya sebagai pola misionaris (kita). Sebagai penutup surat, Claret menyelipkan satu pesan yang sangat mendalam kepada Sang Superior General terlama Kongregasi itu, “hendaknya semua misionaris membawanya dalam saku mereka kemanapun mereka pergi”. Artinya menghidupi model kemisionarisan itu kemanapun dan di manapun. Pesan P. Claret ini beralasan! Konstitusi no. 9 atau Pola misioner (kita) adalah sintesa murni seluruh kehidupan misioner P. Claret dalam rentang waktu 63 tahun (1807-1870).[4]
Sulaman Kemartiran dalam Jiwa Misionarisnya
Tulisan dan kesaksian P.Claret sendiri lambat laun menyulami benang hidup para misionarisnya. Beberapa yang sangat nampak, pertama ekspansi ke Afrika. Misi benua hitam itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak misionaris yang tewas akibat serangan malaria dan keganasan medan.[5] Ironisnya di tengah “kegagalan” demikian, daftar permintaan untuk meninggalkan Spanyol dan berlayar menu Afrika justru bertambah.
Kedua, kegagalan bertumbuh di tengah rezim komunis, kesulitan berbahasa, pengalaman dirampok, dan sebagainya membuat para Claretian di Cina tidak pupus harapan. Beberapa yang tersisa justru saling menguatkan dengan lantunan semboyang kecil, We are the Legion of Christ, kita adalah para serdadu Kristus.[6]
Ketiga, mengingat dalam konteks formasi yang mana orang-orang muda mendominasi, entah jumlah, entah semangat barangkali narasi kemartiran yang menarik adalah Para Martir Barbastro, Siguenza, Saragosa, dan La Selva del Campo. Usia mereka masih sangat muda. Mereka juga masih menggunakan juba frater. Mereka dipaksa untuk menanggalkan jubah dan imannya karena pergolakan politik kepentingan di bawah alibi kebebasan. Akan tetapi seperti Petrus dan para rasul mereka berpekik “hendaknya kita lebih taat kepada Allah, daripada kepada Manusia” (Bdk. Kis. 5:29). Konsekuensi jelas, mereka ditembak mati!
Para Claretian terkasih di manapun kalian berada, kisah-kisah kemartiran yang coba saya ramu ini tanpa tujuan lain selain sekadar ingin “menyontak” kita. Bahwa sesungguhnya ada satu kekhasan di dalam Kongregasi. Barangkali kesadaran semacam ini kadang hilang atau tenggelam dalam keseharian kita, karena kesibukan kita.
Pesta Para Martir: Momen Penyingkapan
Mengutip Heidegger, sebagai Dasein, kemartiran adalah Being kita, akan tetapi kita cenderung menjadi Das Man, yang melupakan kekhasannya karena terbawa arus massa.[7] Ada yang sibuk studi, bermisi, dan memikirkan hal-hal yang tidak terlalu penting. Persis momen peringatan Para Martir di pada 01 Februari ini merupakan momen penyingkapan identitas sekaligus kekayaan kita ini.
Dari pada melupakan kekhasan itu, alangkah lebih bijak apabila diintegrasikan dalam keseharian kita. Lagi pula semangat kemartiran dapat kita wujudkan di dalam seluruh rangkaian dinamika hidup kita. Menjadi martir mungkin agak sulit, tetapi menghidupi semangat mereka adalah sebuah keluasan kemungkinan. Salam in Corde Martis, selamat pesta para martir untuk kita semua.
[1] Lih Autobiografi No. Auto. 574
[2] Claretian Formation, Chappter III. Diakses dari https://www.claretianformation.com/library/traces-of-claret/chapter-iii-claretian-martyrs/ pada Senin, 30 Januari 2023, 13:46 WIB
[3] Lih. https://www.claretianformation.com/library/traces-of-claret/chapter-iii-claretian-martyrs/ pada Senin, 30 Januari 2023, 13:46 WIB, “ I eagerly wished to be the first martyr of the Congregation; but I was not worthy, another one beat me to it. I congratulate the martyr and saintly Crusats and compliment Fr. Reixach for the privilege of being wounded. I give my congratulations to the entire Congregation too, for the bliss of being persecuted.”
[4] Lih. Modul Novisiat 2020-2021, Karya P. Antimus Mali, CMF
[5] Lih. https://www.claret.org/claretians/history/ diakse pada 30 Januari 2023: 14:14 WIB
[6] Lih. Doc. Look Back of Foot Prints in China, sebuah serial dokumenter tahuan tentang misi Claretian di seluruh Dunia, hal. 24
[7] Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian, (Jakarta: KPG, 2003)
Mahasiswa Filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pengagum absurditas Albert Camus