Pertobatan: Rekonsiliasi dengan Allah dan Gereja

Pertobatan: Rekonsiliasi dengan Allah dan Gereja

ClaretPath.com – Pertobatan: Rekonsiliasi dengan Allah dan Gereja

  • Bacaan Pertama: Hosea 6:1-6
  • Bacaan Injil: Lukas 18:9-14

Sahabat ClaretPath yang terkasih, pada masa prapaskah ini seruan pertobatan selalu digaungkan dan menjadi permenungan utama bagi kita sebagai umat Kristiani. Mulai dari ajakan untuk bertobat, sikap-sikap dalam mengisi aktifitas pertobatan, puasa, pantang, berdoa, sedekah dan aksi-aksi lain dalam masa pertobatan ini, singkatnya ajakan untuk bertobat yang baik dan benar. Demikian halnya dengan bacaan Injil hari ini yang menampilkan hal serupa. Melalui perumpamaan hari ini Yesus ingin menampilakan model pertobatan yang sempurna dan benar di hadapan Allah.

Ada dua tokoh dalam bacaan hari ini yang kemudian menjadi tolak ukur sikap pertobatan yakni orang Farisi dan pemungut cukai. Keduanya sama-sama ke Bait Allah untuk berdoa kepada Allah dengan cara dan sikapnya masing-masing. Namun, Yesus menilai bahwa sikap dan cara berdoa dari seorang pemungut cukai lebih benar dibandingkan dengan cara dan sikap berdoa seorang Farisi. Perbedaanya jelas, sebagaimana yang disampaikan oleh Yesus bahwa yang satu meninggikan diri dan yang satu merendahkan diri. Akan tetapi bukankah si Farisi, sudah melakukan banyak kebaikan di tengah masyarakat? Bukankah dia telah melakukan segala sesuatu yang diminta, berpuasa, dan memberikan sepersepuluh dari penghasilannya?

Baca juga :  “Hidup Sempurna: Hidup Yang Selaras Dengan Kehendak-Nya”

Nah, sahabat ClaretPath yang terkasih, pertobatan yang sejati tidak melulu soal seberapa besar kita telah berbagi, atau seberapa banyak aktifitas asketis kita. Jika pertobatan itu melulu soal itu, maka yang benar dihadapan Allah adalah eksklusif bagi orang-orang kaya yang banyak memberi dan menyumbangkan harta miliknya, atau orang-orang religius yang selalu mati raga.  Pertobatan yang sempurna sesungguhnya adalah sikap hati yang benar-benar rendah dihadapan Allah, mengakui kekurangan serta kesalahannya. Atau dalam bahasa pertobatan disebut contrition, penyesalan dosa yang mendalam.

Baca juga :  Ibu Pertiwi

Contrition dalam arti lain dapat dipahami sebagai perasaan sedih karena dosa atau perasaan patah hati karena dosa. Sikap inilah yang ditunjukan oleh si pemungut cukai melalui gestur-gesturnya dalam bacaan hari ini: berdiri jauh-jauh, tidak berani menengadah ke atas, memukul diri dan berkata “kasianilah aku orang berdosa ini.” “Berdiri jauh-jauh” dalam konteks Bait Allah diartikan sebagai sikap menjauh dari dari yang secret, kudus, karena menyadari diri yang tidak kudus dan tidak ingin merusak yang kudus. “Tidak menengadah”berarti sikap yang menyadari kerendahan diri di hadapan Allah. “Memukul diri (memukul dada)” berarti sikap penyesalan atas kesalahan yang dibuat (dalam konteks selanjutnya kita kenal penderaan diri). Perkataan “kasianilah aku orang berdosa ini” diartikan sebagai ungkapan permohonan belas kasih dari Allah.

Selain itu, pertobatan juga harus mengarah pada rekonsiliasi, rekonsiliasi dengan Allah dan Gereja. Rekonsiliasi ataupun pengampunan tidak akan diperoleh jika belum mampu berdamai dengan sesama. Sebagaimana sikap yang ditunjukan oleh si Farisi tersebut, yakni menyebutkan kebaikannya dan merendahkan pemungut cukai. Bahwa dia tidak sama seperti pemungut cukai. Sikap inilah yang kemudian dilihat sebagai sikap yang tidak mau berdamai dengan yang lain.

Baca juga :  Inspirasi Dari Sebuah Dialog

Jadi, para sahabat ClaretPath yang terkasih, melalui bacaan hari ini, kita diajak untuk secara sungguh-sungguh mengarahkan pertobatan kita yang sempurna di hadapan Allah. Pertobatan yang sempurna adalah pertobatan yang penuh penyesalan yang mendalam dan sampai pada rekonsiliasi dengan Allah dan Gereja.  Sehingga kitapun akhirnya didapati sama seperti seorang pemungut cukai yang pulang kerumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah. Semoga Tuhan memberkati.