ClaretPath.com – Persahabatan: “Sebatas Sama Rasa-Sama Selera?”
“Sahabat sama rasa-sama selera”, suatu slogan klasik yang mewarnai berbagai persahabatan di tengah kehidupan sosial manusia. Namun, kita jarang menyadari bahwa tidak sedikit persabahatan dan pertemanan lahir dari perbedaan dan bahkan dari sebuah pertengkaran atau pertikaian tertentu. Entah disadari atau tidak, banyak dari antara kita punya pengalaman yang sama. Persabahatan dan pertemanan dirangkai dan diawali dengan sesuatu yang tidak indah. Sakit hati dan dendam pun bisa menjadi titik sejarah sebuah relasi.
Kita bisa menarik kembali pengalaman masa lalu kita; semasa TK, SD, SMP, SMA, Perkuliahan, di tempat kerja dan lain sebagainya sebagai titik acuan. Pada masa tertentu kita punya pengalaman ini. Bisa saja semasa SD ‘musuhan’, sekarang di bangku kuliah jadi ‘sahabatan’ atau kini sebagai rekan kerja yang baik. Hal ini tidak sebatas pada relasi individu, tetapi juga di dalam getar-getirnya kehidupan para geng dan kelompok lainnya. Semua itu bukanlah tabu di dalam hidup bersama.
Ada relasi persahabatan yang lahir dari persamaan dan keakraban sejak kecil. Ada pula yang berawal dari perbedaan dan oposisi. Ini berarti ketidakmungkinan pun bisa menjadi awal dari sebuah relasi. Pada umumnya dalam tatanan sosial terjadi hal demikian.
Masih ingat film “Remember the Titans”? Film ini dirilis pada September 2000 dan diprodusen oleh Jerome Leon Bruckheimer. Film ini mengisahkan “sebuah tim football di Amerika yang lahir atau terbentuk dari 2 sekolah yang berbeda; sekolah negro dan sekolah kulit putih”. Sebuah film inspiratif yang diangkat dari kisah nyata sejarah Amerika pada tahun 1960-an. Amerika pada masa itu masih melakukan diskriminasi terhadap orang-orang kulit hitam.
Untuk melawan tindakan diskriminasi ini, kedua sekolah ini pun digabungkan. Meski diawali dengan sesuatu yang tidak mungkin bagi kedua kelompok ini, mereka pun bisa menerima satu sama lain dalam prosesnya. Sekolah menjadi heterogen; lingkungan sekolah menjadi unik. Anak-anak kulit hitam dan kulit putih sekelas. Demikian pun terjadi dalam tim football mereka.
Kita bisa membayangkan betapa sulitnya melatih sebuah tim bola yang dipersatukan dari keadaan diskriminatif. Pihak yang melakukan diskriminasi pasti menolak untuk hidup setara dan ada bersama dengan kelompok yang menjadi korban diskriminasi, sebaliknya kelompok korban merasa tidak layak dan tidak mau ada bersama dengan kelompok yang merasa diri sebagai tuan. Pasti ada banyak ekspresi penolakan yang mewarnai usaha meretas diskriminasi tersebut.
Meski demikian, menajemen tim tetap berusaha untuk melawan diskriminasi ini lewat tim football. Tim ini kemudian dibawa ke camp pelatihan. Kedua kelompok tadi disatukan dan dilatih dengan bersama. Hari-hari pertama mereka diwarnai dengan berbagai konflik. Namun berhari-hari usaha dengan latihan bersama, hati mereka pun diluluhkan oleh kebersamaan di camp itu. Akhirnya mereka sadar, mereka adalah saudara dan sama manusia.
Pengalaman kebersamaan ini melahirkan kekompakan yang indah ditonton banyak orang, di lingkungan sekolah, di masyarakat dan di lapangan pertandingan. Alhasil, mereka membuahi banyak keberhasilan dan prestasi bersama. Hal ini menyadari orang tua kulit putih dan orang negro. Relasi kedua kelompok ini harmonis. Tidak ada lagi namanya kulit putih dan negro.
Kisah “Remember the Titans” menunjukkan indahnya persabatan-pertemanan-persaudaraan. Relasi persabatan itu tidak hanya lahir dari sama rasa- sama selera, tetapi juga bisa seburuk dalam kisah “Remember the Titans”. Meskipun, kita punya pengalaman buruk dengan sahabat di hari kemarin, kita tidak perlu berkecil hati dengan teman-teman lain yang punya persahabat baik sejak kecil. Tetapi kita perlu bersyukur karena relasi kita lahir dari ketidakmungkinan. Hal ini yang akan membuat persahabatan kita kuat dan kokoh dalam badai kehidupan.
Perlu disadari bahwa sebuah relasi persabahatan ada pasang-surut. Kadang mengindahkan, kadang menyakitkan. Itulah jalan dari sebuah fakta persabatan-pertemanan-persaudaraan. Tidak ada kehidupan persabahatan yang selalu indah, tanpa rasa sakit. Semuanya berproses dalam pasang-surut tersebut. Sebisa mungkin meminimalisir keburukan, kejahatan dan konflik dalam relasi yang ada.
Persahabatan itu tidak sebatas kita sama suka, sama rasa dan sama selera, tetapi yang terpenting adalah ada di saat bahagia dan ada pula di saat derita. Itulah arti persabahatan.
Penulis Buku “Dialektika Lepas” dan Mahasiswa Pasca Sarjana Prodi Filsafat Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta