Selasa Pekan Biasa XXVI
Bacaan I: Za 8:20-23
Bacaan Injil: Luk 9:51-56
Penaclaret.com – Para sahabat Pena Claret yang terkasih, saya yakin hampir kita semua memiliki akun facebook. Nah, tahukah para sahabat sekalian cerita di balik kesuksesan platform yang digunakan hampir 1,94 miliar jiwa ini. Dalam pidato singkat, Mark Zukerberg pada sebuah momen wisuda di Harvard University, pernah menyinggung alasan cikal-bakal kelahiran facebook. Katanya, “Semua orang ingin terhubung satu dengan yang lain.” Kerinduan untuk memperluas relasi sangat kuat. Keruntuhan tembok Berlin pada 9 November 1989, rasanya sudah cukup bagi kita untuk mengakui bahwa kecendrungan untuk meruntuhkan sekat-sekat pergaulan sedang merontah dalam diri kita. Bertolak dari cerita di balik kehadiran facebook, mari kita mencoba menemukan pesan rohani yang disajikan oleh kedua bacaan suci hari ini.
Zakharia, dalam bacaan pertama menampilkan kerinduan bangsa-bangsa lain untuk bergabung bersama bangsa Israel, umat Allah. “Sepuluh orang dari berbagai bangsa dan bahasa akan memegang kuat-kuat punca jubah seorang Yahudi dengan berkata kami mau pergi bersama kamu, karena kami telah mendengar bahwa Allah menyertai kamu! (Zak. 8:23)”
Sahabat Pena Claret yang terkasih. Kontras dengan bacaan pertama, Lukas justru mengisahkan orang-orang Samaria menolak utusan yang menyampaikan kabar bahwa Yesus sementara dalam perjalanan menuju Yerusalem dan Dia hendak melepas lelah di desa mereka. Mereka menolak Yesus. Tentu saja penolakan ini berangkat dari kultur sosial bangsa Israel waktu itu. Orang Samaria tidak bergaul dengan orang Yahudi (yang identik dengan Yerusalem). Kerena itu, dapat dikatakan bahwa alasan orang Samaria menolak kedatangan Yesus adalah identitas keyahudian-Nya.
Pokok-pokok bacaan suci hari ini, membicarakan kenyataan sekaligus paradoks hidup kita. Di satu sisi semua orang ingin terhubung satu dengan yang lain. Namun, di lain sisi, penolakan terhadap pribadi dan kelompok tertentu adalah wajah lain dari realitas yang tidak bisa disangkal. Mungkin kita pernah menjadi korban penolakan karena alasan-alasan tertentu; ditolak oleh keluarga, sahabat, atau pun masyarakat sekitar.
Sahabat Pena Claret yang terkasih. Menghadapi peristiwa penolakan, terkadang kita berlaku seperti kedua murid Yesus, Yakobus dan Yohanes, ingin membalas secara setimpal, bahkan dengan keji perlakuan orang-orang Samaria terhadap Guru mereka. “Tuhan, apakah Engkau mau, supaya kami menyuruh api turun dari langit untuk membinasakan mereka? (Luk. 9:54)”
Yesus tidak menuruti emosi para murid-Nya. Yesus mengambil jalan lain. Merespons dengan hati tenang dan mengutamakan pengampunan. Tindakan pengampunan Yesus tidak sedang membenarkan perbuatan mereka, tetapi menjadikan kesalahan bukan sebagai penghalang untuk berelasi. Adegium “mata ganti mata, gigi ganti gigi” tidak akan pernah menyelesaikan perselisihan secara tuntas tetapi malah memperpanjang persoalan. Sebagai sahabat Yesus, kita dipanggil untuk melanjutkan misi Yesus; memutuskan perselisihan dengan sikap saling mengampuni. Hanya orang kuat yang sanggup mengampuni, kata Voltaire. Sebagai pengikut Kristus, para sahabat Pena Claret adalah orang-orang yang kuat tersebut. Tuhan memberkati.
Mahasiswa Filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pengagum absurditas Albert Camus