Nongkrong di Titik Nol Yogyakarta

By Fr. Ryan Nefrindo,CMF

Nongkrong di Titik Nol Yogyakarta
Picture by. Instagram.com

ClaretPath.comPengantar: fenomena nongkrong di Titik Nol Yogyakarta

Nongkrong di Titik Nol Jogja adalah fenomena yang terkenal dan populer di kalangan anak muda dan pelajar, terutama di kota Yogyakarta. Fenomena ini merujuk pada kegiatan berkumpul, berbincang, makan, dan menghabiskan waktu bersama di sekitar Titik Nol Kilometer Yogyakarta. Bahkan, orang-orang duduk di kursi-kursi di sepanjang jalan hingga subuh. Nongkrong di sana tidak hanya menjadi kegemaran remaja, tetapi juga orang dewasa.

Meskipun awalnya hanya kegiatan santai dan berkumpul bersama teman-teman, Nongkrong di Titik Nol Jogja lambat laun menarik perhatian banyak orang. Pada sore hari, orang-orang mulai berkerumun dan memadati Titik Nol. Bahkan, akhir pekan sering kali menjadi hari yang sangat ramai di sana. Fenomena ini memunculkan pertanyaan, seperti mengapa orang tertarik nongkrong di tempat ini? Apa makna yang terkandung di balik fenomena ini? Apa bahaya yang mungkin terjadi dari kegiatan nongkrong di Titik Nol Jogja?

Dalam artikel ini, penulis akan membahas fenomena Nongkrong di Titik Nol Jogja dari berbagai perspektif, seperti filsafat, psikologi, sosiologi, teologi, dan lain-lain. Penulis akan menjelaskan beberapa teori dan konsep penting yang terkait dengan fenomena ini, serta menganalisisnya dari perspektif-perspektif tersebut. Diharapkan artikel ini dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang fenomena Nongkrong di Titik Nol Jogja dari sudut pandang yang berbeda.

Alasan mendatangi pikat Titik Nol

Titik Nol adalah tempat berpancar berbagai nilai estetika yang kemudian dijadikan tempat favorit untuk nongkrong di Jogja. Letaknya di pusat kota semakin menggaet orang ke sana. Dekat dengan tempat-tempat wisata. Berderet rapi toko-toko pusat perbelanjaan. Tersedia tempat ngopi. Terpajang poster-poster kuliner yang bermacam-macam. Pencahayaan lampu yang tersorot dari berbagai sisi dan menyertai jalur berlalu-lintas. Tampil beragam pertunjukan seni dan lain-lain. Keadaan Titik Nol tersebut kemudian menarik orang beramai-ramai mengunjungi dan menikmati atmosfer yang tersedia olehnya.

Pengalaman estetik Titik Nol menstimulus pemahaman baru dan terbuka pada kenyataan yang ada. Oleh filsafat estetika Kant diterangkan keindahan tidak sekadar menghadirkan unsur senang semata, tetapi juga memberi pemahaman baru terhadap objek yang diamati. [1]

Manusia dalam panggung sosial

Sejak Yunani klasik, Aristoteles mengumandangkan argumentasinya bahwa manusia adalah makhluk sosial; secara alami manusia adalah makhluk sosial. Ia tidak hidup dalam isolasi. Karakter bawaan bersosial ini menggerakkan manusia untuk berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain. Apakah kita suka atau tidak, hampir semua yang kita lakukan dalam aspek kehidupan selalu berhubungan atau berkaitan dengan orang lain. Sedikit saja hal yang kita perbuat benar-benar soliter dan sangat jarang kesempatan kita benar-benar hanya sendirian. Jadi, kajian mengenai bagaimana kita dapat berinteraksi satu sama lain, dan apa yang terjadi ketika kita berinteraksi, adalah salah satu hal paling mendasar yang menarik dalam kehidupan manusia.[2] Kebutuhan sosial atau social needs oleh Maslow merupakan salah satu hierarki kebutuhan manusia, selain kebutuhan fisiologis, kenyamanan, penghargaan, dan aktualisasi diri.[3]

Baca juga :  Bahagia Kok Pura-Pura?

Nongkrong Titik Nol merupakan ekspresi kebutuhan sosial manusia. Oleh Erving Goffman dalam bukunya Presentation of Self in Everyday Life (1969), menyajikan bahwa kehidupan sosial sebagai panggung di atasnya manusia memainkan peran mereka.[4] Dengan begitu, nongkrong merupakan salah satu skenario yang dipentaskan oleh orang Jogja dalam kehidupan sosialnya di Titik Nol. Di sana mereka memainkan bermacam-macam peran. Ada penjual dan pembeli. Ada yang sekadar menikmati kopi. Ada yang bersantap. Ada yang sekadar bercerita. Ada yang berasmara. Ada pengendara becak dan delman. Ada penyedia rental dan lain-lain. Ada begitu banyak peran yang dimainkan orang-orang yang berkunjung ke sana.

Nongkrong berdaya transformatif

Relasi dan interaksi yang terjalin dalam nongkrong sebenarnya berdaya transformatif. Realitas atau keadaan yang ia jumpai di Titik Nol dapat mengarahkan seseorang untuk terbuka pada wawasan baru, budaya baru, dan cara pandang baru. Melalui pengakuan bahwa orang-orang di Titik Nol berasal dari latar belakang yang plural seperti sosial, agama, suku, ras, atau budaya. Dan Jogja acap kali disebut Indonesia mini karena multikultural yang mewarnai kehidupan masyarakatnya. Sangat dimungkinkan di sana terjadi dialog, termasuk dialog interreligius. Paul Knitter dan teolog pluralis Asia menilai konsep dialog itu menjadi misi agama-agama dan dapat mentransformasi diri. Mereka menerangkan, “Membiarkan pembahasan teologi kita dipengaruhi teologi agama lain sehingga kita terpaksa makin jujur dan lebih memperdalam rohani kita.[5]

Nongkrong menjadi interaksi sosial yang dapat membentuk kepribadian. Dalam interaksi sosial, orang perlu memperhatikan cara bertindak. Hal ini dapat disandingkan dengan teori interpretif dan teori tindakan. Teori tindakan menekankan bahwa keputusan terhadap tindakan apa yang tepat terhadap realitas sekitar dengan takaran interpretasi yang baik. Berlandaskan pada pemahaman tersebut, orang yang berada di Titik Nol dipacu untuk mampu memilih tindakan yang sesuai dengan situasi di sana dan dengan situasi keragaman yang ada. Lebih jelas lagi, George Herbert Mead menekankan pentingnya meneliti relasi sosial antara interaksi sosial dan proses mental subjektif, seperti konsep diri yang berkaitan dengan masyarakat yang lebih luas. Oleh Cooley, menyebutkannya dengan the looking-glass self yang menunjukkan pada pengembangan konsep diri melalui orang lain, khususnya significant others. Dengan begitu, orang lain menjadi salah satu feedback bagi pembentukan diri seseorang.[6]

Nongkrong usaha menemukan dan menciptakan makna hidup

Nongkrong di titik nol juga dipandang sebagai ekspresi manusia untuk menciptakan makna dalam hidup. Berada dan berinteraksi dengan orang di Titik Nol memandu orang pada pengalaman yang memuaskan, eksploratif, kreatif, dan inspiratif. Melalui itu, ia menghasilkan makna tertentu tentang diri dan hidupnya. Sartre dalam “Being and Nothingness” mengatakan manusia terlempar ke dunia tanpa tujuan dan makna. Menurut Sartre manusia dikutuk untuk bebas. Karena itu ia bertanggung jawab terhadap kebebasannya untuk menciptakan makna dalam hidup mereka sendiri melalui tindakan dan pilihan yang dibuat.[7] Atau dalam nada humanisme, Maslow menempatkan kebutuhan aktualisasi diri sebagai usaha menciptakan makna dalam hidup mereka sendiri.[8]

Baca juga :  Bersama Bayanganmu

Nongkrong sebagai healing dari efek modernitas

Disrupsi digital telah menggoncang tatanan pola relasi dan interaksi sosial. Orang terkadang teralienasi, terisolasi, kesepian, dan semakin individualistik serta narsistik. Era ini mengalihkan daya integrasi dan kolektif menjadi individualistik dan fragmentaris. Zigmunt Bauman menyebutnya “Liquid Modernity“, yaitu dunia yang terus berubah dan merenggangkan, melemahkan, bahkan menghancurkan relasi sosial. Individu berada dalam dunia yang tidak stabil tanpa permanensi di mana ia harus bertanggung jawab terhadap keberadaannya sendiri.[9]

Dalam modernitas cair, Bauman berkata, tidak ada “tempat tidur” bagi individu. Yang ada adalah “kursi pemain musik berbagai ukuran dan gaya di samping jumlah dan posisi yang berubah-ubah yang mendorong orang terus bergerak”. Setiap orang dicairkan (likuidasi) dalam pekerjaan, keluarga, cinta, keakraban, dan moralitas. Berdasarkan keadaan itu, nongkrong memungkin sebagai alasan bagi orang untuk keluar dari situasi kesendirian tersebut. Nongkrong memberi ruang relasi dan interaksi sosial.

Bahaya konsumerisme nongkrong

Ketertarikan dengan budaya nongkrong di Titik Nol dapat menggiring orang pada konsumerisme. Seseorang akan terus menikmati segala yang tersedia di Titik Nol. Orang berbelanja, bersantap, ngopi, dan lain-lain. Orang merasa kecanduan. Tidak puas dan tidak berhenti pada keinginan akan sesuatu.

Bauman lagi-lagi mengutarakan konsumerisme sebagai “hidup dari atraksi ke atraksi, dari godaan ke godaan, dari memiliki sesuatu ingin lagi memiliki yang lain, dari menelan suatu umpan ke umpan yang lain, dan seterusnya”. Bauman menggambarkan sikap pesimis terhadap masyarakat kontemporer dengan sebutan “turis” dan “pengembara”.[10] Orang terjebak dalam masyarakat konsumen yang disorientasi dan berupaya bereksplorasi untuk menemukan sensasi baru; pengembara mengimpikan turis padahal turis sering kali membayangkan dirinya sebagai pengembara. Di sisi lain, masyarakat kontemporer terlihat semakin tidak adil dengan kehadiran orang yang termarginalkan.

Belajar dari cara Yesus nongkrong

Yesus dalam karya pelayanan-Nya melibatkan para murid. Banyak narasi Injil menjelaskan tentang bagaimana Yesus membangun relasi dengan pengikut atau orang banyak dengan “nongkrong” atau berkumpul bersama. Yesus dalam relasinya, atau lebih asyik disebut nongkrong, tidak memandang status sosial, agama, budaya, atau latar belakang orang lain. Yesus terbuka terhadap semua orang. Di sana, Ia mengadakan perjamuan bersama para murid-Nya. Yesus membagikan roti dan anggur, mengajarkan tentang pengampunan, persaudaraan, cinta kasih, komunitas yang saling menguatkan dan mendukung.

Baca juga :  Menjunjung Tinggi Nilai Kehidupan

Gaya dan makna nongkrong Yesus tersebut seharusnya menjadi gaya dan semangat nongkrong orang di Titik Nol. Terbuka terhadap yang lain. Membahas atau mendiskusikan hal yang penting untuk hidup. Menguatkan sesama. Menghindari prasangka dan diskriminasi. Berempati. Belajar. Memiliki tujuan yang jelas.

#Nongkrong di Titik Nol Yogyakarta

#Nongkrong di Titik Nol Yogyakarta

Daftar Pustaka

Kant, I. (1987). Critique of Judgment. (W. S. Pluhar, Trans.). Hackett Publishing Company.

Jones, P., Bradbury, L., & Le Boutillier, S. (2016). Pengantar Teori-Teori Sosial. (A. F. Saifuddin, Trans.). Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Blaskova, M., & Grazulis, V. (2009). Motivation Potential: Theory and Practice. Mykolas Romeris University and Zilina University.

Goffman, E. (1956). The Presentation of Self in Everyday Life. University of Edinburgh Social Sciences Research Centre.

Hutahaean, W. S. (2020). Teologi Agama-Agama. Ahlimedia press.

Haryanto, S. (2012). Spektrum Teori Sosial: Dari Klasik Hingga Postmodern. Ar-Ruzz Media.

Gardner, S. (2009). Sartre’s Being and Nothingness a Reader’s Guide. Continuum International Publishing Group.


[1] Immanuel Kant tranlate by Werner s. Pluhar,  Critique of Judgment, (United States of America: Hackett Publishing Company Indianapolis/Cambridge, 1987), Hal XVI-XVIII

[2] Pip Jones, Liz Bradbury, dan Shaun Le Boutillier, diterj. Achmad Fedyani Saifuddin, Pengantar Teori-Teori Sosial, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016), hal 1

[3] Martina Blaskova dan Vladimiras Grazulis, Motivation Potential: Theory and Practice, (Mykolas Romeris University and Zilina University, 2009), Hal.114-117

[4] Erving Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life, (University of Edinburgh Social Sciences Research Centre 39 George Square, Edinburgh 8, 1956), hal.19-22

[5] Wendy Sepmady Hutahaean, Teologi Agama-Agama, (Kota Malang: Ahlimedia press, 2020), hal.24

[6] Sindung Haryanto, Spektrum Teori Sosial: Dari Klasik Hingga Postmodern, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hal. 68

[7] Sebastian Gardner, Sartre’s Being and Nothingness a Reader’s Guide, (New York: Continuum International Publishing Group, 2009), hal. 40-42

[8] Martina Blaskova dan Vladimiras Grazulis, Motivation Potential: Theory and Practice, hal. 114-115

[9] Pip Jones, Liz Bradbury, dan Shaun Le Boutillier, diterj. Achmad Fedyani Saifuddin, Pengantar Teori-Teori Sosial, hal. 274-276

[10] Pip Jones, Liz Bradbury, dan Shaun Le Boutillier, diterj. Achmad Fedyani Saifuddin, Pengantar Teori-Teori Sosial, hal. 279