Merawat Alam sebagai Jalan Menuju Kekudusan

By Ryo Aether

Merawat Alam sebagai Jalan Menuju Kekudusan
Picture by Instagram.com

ClaretPath.comMerawat Alam sebagai Jalan Menuju Kekudusan

Tulisan ini merupakan refleksi atas ulang tahun ke-5 Ensiklik Paus Fransiskus, yakni Gaudete et Exultate. Ensiklik yang menandai enam tahun masa pontifikal Bapa Suci Paus Fransiskus ini menganjurkan kepada segenap umat Allah untuk hidup dalam jalan kekudusan yang ditekuni dalam kehidupan harian. Dan, di saat bersamaan, umat Kristiani yang dalam masa Prapaskah tahun ini sembari merenungkan tema “Keadilan Ekologis bagi Seluruh Ciptaan (Semakin Mengasihi dan Lebih Peduli)”. Tema ini mengajak umat Kristiani untuk menjaga lingkungan alam ciptaan Allah dengan penuh tanggungjawab.

Alam, Riwayatmu Kini

Ulah manusia yang penuh kebobrokan semakin menyempurnakan kesengsaraan bumi ini. Sikap apatis manusia membuat bumi semakin tersiksa. Manusia hanya berharap agar bumi ini semakin hijau, indah, dan elok rupa. Akan tetapi, tidak ada aksi nyata untuk menyukseskan harapan itu.

Buruknya lagi, dari sikap apatis itu, lahirlah naluri rakus manusia untuk menguasai dan mengeksploitasi alam. Manusia tidak pernah berhenti membabat dan membakar hutan, membuang limbah industri secara sembarangan, melegalkan bom ikan, dan lain-lain. Jiwa bumi telah tertikam oleh keserakahan penghuninya.

Tidak sampai di situ keserakahan manusia terhadap alam. Pertambangan kini menjadi misi baru penghancuran alam. Tak tanggung-tanggung, kebobrokan nurani manusia bisa menundukkan gunung yang menjulang tinggi. Sebagai contoh, kita bisa melihat realitas di tanah Timor. Ada begitu banyak ‘luka alam’ hasil tambang yang dibiarkan menganga begitu saja tanpa ada tindak lanjut.

Baca juga :  Pendidikan di Era Globalisasi

Kita bisa memperpanjang cerita kebobrokan manusia dengan aneka kasus pembakaran hutan. Hutan Kalimantan dan Sumatra belum juga mengakhiri kisah itu. Hutan yang dengan penuh kebanggaan kita sebut sebagai lumbung oksigen dunia, tanpa ampun dibabat dan dibakar habis tanpa sisa. Semua itu dilakukan demi keuntungan pribadi.

Di sini terlihat satu fakta ironis. Alam dijadikan objek pemuas kerakusan. Alam dijadikan alat untuk menghasilkan uang sebanyak-banyaknya. Sayang seribu sayang, semua itu menghasilkan pilu. Orang hanya mementingkan kepuasan pribadi, tetapi celakanya alam dan sesamanya hancur berantakan. Alam menjadi hancur bersama dengan masyarakat yang begitu menggantungkan hidupnya pada alam. Egoisme dalam diri manusia telah membuatnya lupa untuk berlaku kudus di hadapan alam.

Merawat Alam, Menjadi Kudus

Untuk itu, dihadapan realitas alam yang semakin hancur akibat ulah manusia sendiri, kita sekarang diajak untuk membangun suatu spiritualitas baru. Spiritualitas baru itu adalah melihat perawatan alam sebagai sebuah jalan menuju kekudusan. Spiritualitas baru ini, hemat saya, adalah suatu perlakuan yang baik terhadap alam.

Dalam ensiklik Gaudete et Exultate (GE), Paus Fransiskus menggaungkan ajaran tentang kekudusan. Namun, kekudusan tersebut tidak sekadar diraih lewat doa yang dilaksanakan semalam suntuk. Menurut Paus Fransiskus, kita semua dipanggil untuk menjadi kudus dengan menghayati hidup kita dengan kasih dan masing-masing memberikan kesaksiannya sendiri dalam kegiatan setiap hari di manapun kita berada (GE 14). Memang, dalam sejarah Gereja, ada begitu banyak orang disebut kudus karena cara atau praktik hidup mereka.

Baca juga :  Pluralisme Agama Indonesia: Dosa Liberalisme?

Di sini, Paus Fransiskus hendak mengingatkan bahwa kekudusan hadir dan bisa kita raih lewat praktek hidup harian. Sebagai misal, ketika seorang ibu bangun pagi-pagi untuk menyiapkan sarapan pagi bagi keluarganya. Tindakan si ibu ini adalah sebentuk praktek hidup kudus. Atau misalnya, ketika seseorang meletakkan sampah pada tempatnya, itu artinya dia sedang berjalan di jalan kekudusan. Ketika seorang menanam pohon, dirinya sedang mempersiapkan jalan untuk alam yang lebih baik, dan di saat bersamaan, dia sedang melakukan praktek hidup kudus.

Praktek hidup kudus membantu kita dalam membangun sebuah paradigma baru. Alam perlu kita lihat sebagai ‘barang pinjaman’. Sebetulnya alam yang kita nikmati sekarang ini adalah hasil pinjaman kita dari ‘masa depan’. Masa depan itu adalah anak cucu kita. Alam ini sepenuhnya adalah milik mereka.

Itu artinya, kita tidak berhak untuk menghancurkannya. Demikian pula kita tidak berhak untuk mengambil kepemilikan ini dari mereka dengan cara dan alasan apa pun juga. Yang perlu kita lakukan sebenarnya hanyalah satu, yakni merawat alam kepunyaan mereka ini.

Baca juga :  Adven: Jalan Pertobatan dengan Membangun Cinta dalam Keluarga

Praktek hidup kudus terhadap alam terwujudkan dalam suatu tindakan yang adil terhadapnya. Artinya perlakuan manusia harusnya memberikan keuntungan kepada yang satu tanpa harus memberikan kerugian kepada yang lain. Jadi, perlakuan manusia tidak lagi mengeruk alam untuk memperkaya dirinya sendiri sembari memberikan kerugian terhadap alam dan terhadap mereka yang rentan. Inilah yang dinamakan keadilan ekologis.

Praktek hidup kudus terhadap alam ini merupakan suatu gaya hidup yang terarah kepada penyelamatan bumi dan keberlanjutan hidup manusia di bumi ini melalui tata kelola alam yang bertanggungjawab dan berkecukupan, serta menghindari kebiasaan eksploitasi sumber-sumber daya alam kita secara berlebihan untuk kepentingan segelintir orang (buku Katekese APP Prapaskah 2023, hal. 24-25).

Untuk itu, marilah kita berlaku kudus dan jujur di hadapan alam dengan tetap merawatnya dengan penuh tanggungjawab. Karena bumi ada rumah kita bersama sekaligus ibu yang menjaga dan merawat kita (Laudato Si, no. 1).