ClaretPath.com– Membalasnya dengan Kapas
Selasa, 16 April 2024, Pekan Pasak III
Bacaan Pertama: Kisah Para Rasul 6:8-15
Tugas Nabi
Salah satu tugas para nabi dalam Perjanjian Lama adalah menyerukan pertobatan. Kendati demikian, mereka harus menanggung konsekuensi dari ketamakan orang-orang Israel- yang pada saat tertentu telah menyimpang dari Hukum Taurat. Bahkan tak jarang kita menemukan bahwa mereka dibenci oleh bangsanya sendiri. Namun, kesetiaan YHWH pada umat-Nya memampukan mereka untuk menjalani tugas Pewartaan itu. “Kadang-kadang apa yang dibenci manusia, itulah yang dicintai Tuhan. Begitu pula sebaliknya apa yang dicintai manusia, itulah yang dibenci Allah”. Demikian kiranya saya menggambarkan sejarah para nabi dalam perjanjian Lama.
Stefanus “Nabi Perjanjian Baru”
Kisah kebencian terhadap para nabi rupanya tidak berhenti pada Nabi-nabi Perjanjian Lama. Perjanjian Baru pun mengisahkan hal yang sama. Kita melihat dalam bacaan pertama hari ini di mana Stefanus harus menanggung konsekuensi atas pewartaannya tentang Yesus yang telah bangkit. Bahkan lebih dari para nabi, ia harus mati terbunuh di tangan bangsanya sendiri. Kisah ini tidak lain menggambarkan kesetiaan Stefanus atas tugas yang telah para Rasul embankan kepadanya.
Stefanus membalasnya dengan kapas
Karena kesetiaannya atas tugas mulia ini, sungguhpun ia orang melemparinya dengan batu, tetapi sebagai nabi ia sadar akan tugasnya, yakni “membalasnya dengan kapas”. Bahkan dalam situasi yang darurat ini ia masih mengampuni mereka yang melemparinya. “Tuhan, janganlah kau tanggung dosa ini kepada mereka”. Berkat kegigihan dan kesetiaannya ini, ia mendapat ganjaran mulia sebelum meninggal. Ia melihat kemuliaan Allah dan Yesus berdiri di sebelah kanan Allah. Melalui penglihatan ini nampak jelas bagi kita bahwa Tuhan tak kan pernah meinggalkan umat-Nya, sebab Ia adalah Roti yang hidup; Roti yang tak akan membuat orang lapar lagi (baca mati). Dan nyatalah sabda Yesus “Aku menyertai kamu sampai akhir zaman”.
Pesan dari Stefanus
Melalui bacaan suci hari ini, terutama kisah kesetiaan Stefanus dan juga kesaksian imannya, ada dua pesan yang hendak saya refleksikan. Pertama, bahwa menjadi seorang murid di zaman sekarang Kita membutuhkan kesetiaan yang total pada penyelenggaraan Allah. Dunia menawarkan banyak hal yang bersifat sementara, bahkan sekarang muncul “agama-agama baru” yang mungkin akan menggantikan peran agama kita. Menanggapi kenyataan ini, kita hendaknya kembali pada Dia. Bahwa Dia telah terlebih dahulu setia pada kita. bahkan karena kesetiaan-Nya pada kita, Ia rela mati di kayu salib. Kematiaan yang sangat hina.
Kedua, kita perlu adanya keberanian untuk mewartakan Kristus yang bangkit. Sekarang ini tidak hanya perkembangan ilmu teknologi yang menjadi tantangan kita, tetapi juga ketakutan terhadap yang “mayoritas”. Hal ini tidak lain karena kurangnya iman kita. Seperti Stefanus, dalam situasi apapun hendaknya kita berani mewartakan Kristus. Berhadapan dengan ini, iman menjadi pegangan dan kekuatan kita. Mewartakan Dia yang bangkit tidak dengan kemampuan yang kita miliki, melaikan dengan iman yang kita miliki. Karena kebangkitan bukan merupakan peristiwa Akademik, tetapi peristiwa iman. Kebangkitan hanya dipahami melalui iman.
Dengan iman mewartakan Dia yang bangkit
Maka, sahabat Claterpath yang terkasih sabda Tuhan hari ini mengajak kita untuk setia dalam tugas dan pelayanan kita. Kita hendaknya tetap berani dengan iman mewartakan Dia yang bangkit. Dengan melaksakan tugas mulia ini, kita akan mendapatkan ganjaran yang mulia pula dari Tuhan. Bahwa Ia akan lebih setia menjaga kita, ia akan lebih berani mengakui kita di hadapan Bapa-Nya. Sehingga, apa yang kita tuai di dunia ini akan berbuah di kehidupan kelak. Kita akan menikmati Roti Hidup yang diberikan-Nya kepada kita.
Mahasiswa Filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pengagum absurditas Albert Camus