ClaretPath.Com–Memaknai Hari Sabat
Hari Senin Pekan Biasa Ke-XXIII, 5 September 2022
Bacaan I: 1 Kor. 5:1-8
Bacaan Injil: Luk. 6:6-11
Yesus itu menarik. Gaya pewartaan dan pengajaran-Nya spekulatif tetapi mencerahkan. Pengajaran-pengajaran-Nya seperti hal berpuasa, berdoa pun termasuk polemik mengenai hari sabat yang tak kunjung usai ini; selalu memberi insight menarik yang selalu mengundang banyak reaksi dan aksi. Alhasil, pelbagai tanggapan seperti; penerimaan, penolakan hingga ancaman pembunuhan pun perlahan mulai mengikuti-Nya. Walau pun begitu, Yesus tidak pernah takut dalam memproklamasikan Kerajaan Allah.
Sebaliknya, Yesus menggunakan rupa-rupa reaksi dan aksi para pendengar-Nya itu untuk mengecek kembali pemahaman mereka mengenai apa itu kebaikan dan kebenaran. Alasan Yesus mempertanyakan atau mengkritisi kebaikan dan kebenaran itu adalah bahwa pada faktanya, keduanya lebih banyak dimanipulasi untuk meraup keuntungan. Upaya kritis Yesus ini tampak dalam pertanyaan-Nya; “Manakah yang diperbolehkan pada hari sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membinasakannya?” (Luk. 6:9).
Pertanyaan kritis Yesus ini sejatinya ingin memurnikan kembali hakekat kebaikan dan kebenaran dalam memaknai hari sabat. Jawaban atas pertanyaan itu pun sebenarnya telah termaktub dalam pertanyaan Yesus sendiri. Bahwasannya, inti terdalam dari perayaan tradisi yang telah berurat dan berakar kuat dalam diri masyarakat Yahudi ini adalah menyelamatkan nyawa orang atau membinasakannya. Orang-orang Yahudi meyakini dan memaknai hari sabat ini sebagai hari Tuhan; hari untuk beristirahat. Sebuah hari yang kudus dan sakral. Karena itu, tidaklah heran apabila pada hari sabat terdapat beberapa pekerjaan manusiawi yang dilarang.
Apa Itu Sabat
Sabat atau dalam Bahasa Ibraninya shabbat berarti berhenti bekerja. Selanjutnya, Hari sabat dalam konteks kita sekarang ini adalah hari Minggu. Sabat pun bisa ditafsir secara bebas sebagai tindakan ‘mengulurkan tangan’. Tafsiran hari sabat sebagai tindakan ‘mengulurkan tangan’ ini diambil dari cuplikan kisah inspiratif dari bacaan Injil hari ini. Yang mana Yesus, bertindak melampaui hari sabat dengan menyembuhkan orang yang mati tangan kanannya.
Orang-orang Farisi pun menentang tindakan beyond-Nya Yesus. Bagi mereka, Yesus telah melanggar dan ‘menodai’ kesakralan hari sabat. Orang-orang farisi begitu radikal dalam menjalani dan memaknai hari sabat. Bagi mereka sabat adalah hari Tuhan; hari beristirahat. Sementara menentang dan mengecam Yesus atas Tindakan-Nya yang melanggar aturan hari sabat itu; Yesus kembali mengingatkan mereka bahwa; “Anak manusia adalah tuan atas hari sabat” (Luk. 6:5). Artinya bahwa, Yesus melampaui hari sabat itu sendiri sebab Ia adalah Tuhan. Sabat adalah Hari-Nya Yesus bukan orang-orang farisi. Inilah alasan yang melatarbelakangi penafsiran hari sabat sebagai tindakan ‘mengulurkan tangan’ tadi. Bahwa Sabat sebagai tindakan ‘mengulurkan tangan’ berarti tidak melarang karya karitatif Kristus. Artinya tidak menutup diri pada tindakan kasih Yesus yang selalu menyapa hidup kita.
Orang-orang farisi persis melakukan dan melupakannya. Jika, orang-orang farisi lupa bahwa sabat adalah Hari-Nya Yesus, bagaimana dengan kita sendiri? Apakah kita sering juga bertindak serupa dengan orang-orang farisi yang melupakan Hari Tuhan, yakni hari Minggu? Apakah kita juga sering menutup diri atau ‘tidak mengulurkan tangan’ kepada-Nya? Semoga tidak demikian. Amin.
Mahasiswa Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira-Kupang. Pencinta kopi, senja dan novel Jonathan Livingston, Karya Richard Bach.