Kasih Alah Yang Bersinar Di Balik Jeruji Besi

Fr. Richard Sau, CMF

Kasih Alah Yang Bersinar Di Balik Jeruji Besi
Picture from Truemil.com.tw

ClaretPath.com – Kasih Alah Yang Bersinar Di Balik Jeruji Besi

Fr. Richard Sau

Only free men can negotiate. Prisoners cannot enter into contracts. Demikian ungkapan Nelson Mandela seorang pengacara dan politikus asal Afrika Selatan. Ungkapan ini tidak lahir begitu saja, melainkan memiliki sisi historitas yang penting. Jika menilik alur kehidupan dari sosok Nelson Mandela, tentu tidak mudah untuk dikatakan, karena dia sendiri telah “makan garam” dalam ruang kehidupan yang penuh penindasan dan ketidakadilan. Bayangkan saja penindasan dari kaum kulit putih (dalam hal ini rasisme) begitu mengental dan membuat kehidupan yang sebenarnya dinikmati karena keindahannya, tetapi toh di sisi lain harus dinikmati pula pil pahit karena ketiadaan respek antara manusia. Penindasan yang bersifat subordinatif dan dikotomif mempengaruhi ruang gerak masyarakat Afrika Selatan.

Rasisme menjadi saat yang dramatis sekaLigus heroik bagi segenap masyarakat Afrika Selatan. Yang mereka jumpai hanyalah kebejatan dan bukan kebahagiaan. Menurut hemat saya, orang-orang Afrika Selatan mempertanyakan kemanusiaan mereka serta keberadaan mereka di dunia yang serba carut-marut dan hingar-binger. Semua yang mereka lakukan harus berada di bawah payung otoritatif dari para penguasa yang rasis. Di sini kebebasan tidak diberi ruang untuk berekspresi, sehingga penderitaan manusia meluluhlantak di sepanjang Sejarah kehidupan.

Nelson Mandela kerap menelan pil pahit dari rasisme di Afrika Selatan saat itu. Dia pernah merasakan saat buruk tatkala ia hanya diperbolehkan berbicara satu kali dalam satu kesempatan dan dijalaninya selama enam bulan. Lebih lanjut Nelson Mandela dalam hidupnya harus menerima kenyataan bahwa dia pernah menjadi tahanan selama 27 tahun. “Only free men can negotiate. Prisoners cannot enter into contracts”, menjadi ungkapan yang meringkaskan bagaimana kehidupan tanpa keadilan tetapi selalu dihidupi. Lalu, apakah 27 tahun berada di dalam penjara membuat semangat Nelson Mandela redup? Tentu tidak. Di dalam penjara Nelson Mandela tetap berusaha menyuarakan kebebasan kendatipun melalui mediasi. Optimisme dan harapan agar memperoleh hidup yang harmonis tetap berkobar walaupun tanpa suara yang nyata.

Baca juga :  Manfaat Tanggung Jawab

Perjuangan sang Nelson Mandela terhadap rezim apartheid di Afrika Selatan, tidak pernah redup termakan suasana. Kebebasan kaum kulit hitam menjadi misi utama yang ia kumandangkan, kendatipun dimensi sosial kehidupan tak memungkinkannya untuk bergerak. Narasi kehidupan sang pengacara sekaligus politisi asal Afrika Selatan ini patut diacungkan jempol. Dia tidak pernah mempersoalkan bagaimana dirinya, tetapi dia selalu melihat aspek komunal atau sosial. Keutamaan kehidupan bersama menjadi inner power yang terpatri dalam nurani sang politisi. Cita-citanya yang mulia berujung pada sebuah kata berhasil. Buktinya dia menjadi presiden Afrika Selatan dan dipilih melalui cara yang sungguh-sungguh demokratis. Hal yang unik di sini adalah dia dipilih oleh semua Masyarakat Afrika tanpa ada Frame atau pengotakan atau kelas sosial tertentu.

Mempertanyakan sisi kemanusiaan manusia tentu kita ingat akan kiblat seorang teolog politik asal Jerman Johann Baptist Metz. Dalam suatu kesempatan Ketika Metz Kembali ke kamp, dia melihat semua sahabatnya telah tiada. Saat itu sebuah pertanyaan yang ia utarakan yakni, di manahkah kemanusiaan? Hal ini tentu jauh berbeda dengan realitas hidup yang dialami Moltmann seorang teolog dogmatik dari Gereja muda yang menghadapi realitas hidup yang sama. Sekembalinya ke kamp Moltmann melihat sahabatnya telah tiada, dan dia melontarkan sebuah pertanyaan, di manakah Tuhan? Kiranya dua realitas yang berbeda ini disatukan dalam hidup Nelson Mandela dan semua Masyarakat Afrika Selatan. Mungkin saat rasisme merajalela di Afrika Selatan, Masyarakat tidak saja bertanya soal, di manakah kemanusiaan? Tetapi juga bertanya di manakah Tuhan?

Dalam refleksi ini saya tidak sedang menggambarkan saat di mana Nelson Mandela dinomorduakan karena rasisme, tetapi mencoba menerangkan optimisme yang ia bangun di balik jeruji besi. Realitas yang dialami Nelson Mandela kiranya cukup relevan dengan pengalaman yang dialami oleh para Narapidana di Lapas Wirogunan dan lapas Pakem, tempat di mana saya melakukan kegiatan kerasulan.

Baca juga :  Moralitas Kristiani: Buah Sakramen Rekonsiliasi

Semua orang yang mengunjung Lembaga pemasyarakatan ini tentu kagum dengan kehidupan para napi yang telah memulai jalan baru. Turning point kiranya tepat untuk diberikan kepada mereka. Setiap napi menyadari bahwa segala kasak-kusuk kehidupan yang mereka lakoni sebelumnya adalah salah dan tak pantas untuk dihidupi oleh semua orang. Di samping itu, mereka menyadari bahwasanya dalam keheningan yang mereka alami di balik jeruji besi mereka mampu menemukan Tuhan yang hadir. Keheningan penjara membuat setiap pribadi memulai moment istimewa bersama Allah.  Menurut pengakuan dari beberapa narapidana, berada di penjara membuat mereka semakin dekat dengan Tuhan. Tuhan bukan pribadi yang berada jauh dari mereka, melainkan Dia yang selalu menemani dalam hidup mereka.

Baca juga :  Trending Iman: Pemahaman dan Pengalaman

Mengalami Tuhan dalam hidup adalah cita-cita semua orang. kurang lebih hal inilah yang dialami oleh para narapidana di Wirogunan dan Lapas Pakem. Satu hal yang mungkin menggugah nurani setiap orang yang berkunjung ke sana adalah sebuah realitas di mana para napi memiliki ayat-ayak Kitab Suci inspiratif. Mereka tidak saja menghafal apa yang tertulis dalam kitab suci, tetapi lebih dari itu, mereka menghayatinya dalam kehidupan sehari-hari dan berkomitmen untuk selalu bersandar pada Tuhan Ketika mereka Kembali ke rumah mereka masing-masing.

Optimisme seperti ini tidak lain merupakan sebuah kesempatan di mana para napi berusaha dengan penuh semangat rekonsiliasi membangun semacam ruang transformatif dalam diri mereka. Jika Nelson Mandela Ketika berada di balik jeruji besi menyoraki kebebasan, para narapidana di Wirogunan dan Pakem justru menyoraki transformasi diri. Realitas kehidupan mereka sungguh jauh berbeda, tetapi memiliki arah pada sebuah perubahan; entah itu merujuk pada perubahan demokratis sebuah negara dan perubahan diri setiap pribadi.

Hemat saya, belajar dari Nelson Mandela dan kehidupan para narapidana, sahabat ClarePath.com yang Budiman sapat menyadari bahwasanya dalam situasi apapun kuasa Allah tetap membara. Kasihnya bak berlian yang selalu bersinar dalam keadaan apapun. Maka layaklah kita berpendapat bahwa kasih Allah itu bersinar di balik jeruji besi. Jika mengingat kehidupan tokoh yang saya gambarkan bahwasanya Allah pasti menyertai setiap orang kapanpun dan di manapun.