ClaretPath.com – Kartini Hari Ini
Kartini memimpikan kemerdekaan, kebebasan, dan kesetaraan kaum perempuan. Akan tetapi setelah 109 tahun Kartini menorehkan mimpinya itu dalam “Door Duisternis Tot Licht” (Sehabis Gelap Terbit Terang), apakah ada gerak maju dari kartini-kartini zaman ini?
Mimpi Indonesia 2045 tentang generasi emas rupanya sangat besar. Pada masa itu Indonesia mengalami Bonus demografi. Persentase penduduk usia produktif lebih besar dari non produktif. Banyak prediksi terukur mengatakan bahwa jika Indonesia tidak mengantisipasi dan menggunakan momen ini secara bijak, maka kesempatan itu akan terbuang percuma. Kesalahan strategi maka, butuh waktu ekstra untuk menulis nama “Indonesia” di deretan negara-negara maju dunia.
Prediksi terukur tersebut tidak boleh mengabaikan perempuan. Setengah dari generasi emas 2045 adalah perempuan (Kompas, 20/04/23). Artinya kontribusi para perempuan untuk mengusung negara maju pada 2045 bukan main-main. Akan tetapi kondisi para perempuan pasca reformasi belum juga banyak berubah.
Hegemoni antar ruang privat dan ruang publik telah melegalkan budaya patriakal (Sudarminta, 2010, 207). Hanya laki-laki yang punya akses bebas ke ruang publik, seperti pendidikan, ekonomi, politik, bahkan agama. Sementara para perempuan hanya menyelesaikan persoalan dasar di ruang privat. Itupun masih di bawah kontrol kaum laki-laki. Dengan demikian perempuan tidak bebas dan terus menjadi kerdil. Karena itu, perempuan secara kodrati dianggap tidak sama dengan laki-laki.
Kontelasi para pemikir Yunani – yang kemudian mendominasi budaya berpikir saat ini – menyebut manusia hanya laki-laki. Perempuan adalah setengah manusia. Patologi kebudayaan ini terus terpelihara melalui bukti ilmiah yang mengatakan bahwa perempuan mempunyai daya berpikir yang lemah dibanding laki-laki. Kemampuan logika berpikir dan menstrukturkan argumentasi lebih baik dari perempuan. Perempuan acapkali lebih banyak menggunakan perasaan. Hanya sebagian perempuan yang berhasil meloloskan diri dari patologi budaya ini.
Nasib perempuan di dalam kultur timur seperti Indonesia malah lebih memprihatinkan. Kalau di barat sudah tumbuh subjektivitas dan otonom berkat cogito Descartes dan Eksistensialisme, yang mana setiap orang bebas menentukan dirinya sendiri. Di timur budaya kolektif masih berakar kuat. Tubuh seorang perempuan bukan miliknya sendiri, tetapi milik budaya kolektif.
Ada satu cerita menarik dari dunia kedokteran tentang hal ini. Ada seorang ibu hamil yang mengalami tumor ganas di rahimnya. Hanya ada dua pilihan dengan konsekuensinya masing-masing. Pertama, menyelamatkan ibu tersebut dengan konsekuensi mengangkat rahim dan otomatis bayinya mati. Kedua, menyelamatkan bayinya dan membiarkan ibunya meninggal dunia. Di dalam situasi seperti ini, di Indonesia keputusan tidak bisa diambil oleh seorang ibu secara otonom. Ia harus mendengar keputusan dari suaminya dan keluarga besarnya. Artinya tubuhnya adalah suatu properti budaya.
Patologi yang telah difiks-kan dalam budaya semacam in memang tidak mudah untuk diretas. Butuh suatu perjalanan waktu yang cukup panjang. Ideologi feminisme yang akhir-akhir ini dapat menjadi wadah di mana para perempuan mempengaruhi mainstream cara pandang. Meskipun belum juga menuai sukses, feminisme telah berhasil menelanjangi kebohongan budaya patriarki yang telah sekian lama menjajah kaum perempuan. Feminisme merevolusi budaya berpikir (Hardiman, 2003, 33).
Feminisme sendiri merupakan anak dari kemajuan sistem berpikir dan pendidikan. Atau dengan kata lain motor feminisme adalah pendidikan. Di Indonesia sendiri, merdeka belajar dapat menjadi kesempatan bagi para perempuan untuk mendobrak pemikiran. Kesempatan memperoleh pengetahuan secara bebas dan media sosial yang menyediakan berbagai sumber pemikiran dapat memperkaya amunisi kaum perempuan. Tentu dengan pengandaian kebijaksanaan.
Tulisan in dibuat dalam kesempatan hari Karti atau hari perempuan nasional. Kiranya buah pemikiran ini dapat menjadi sumbangan bagi para kartini dan pendukung kartini zaman now untuk terus memperjuangkan mimpi yang telah ditorehkan dalam “Habis Gelap Terbit Terang”. Selamat Hari Kartini ke-109.
Mahasiswa Filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pengagum absurditas Albert Camus