ClaretPath.com– Pada zamannya, Karl Marx melihat bahwa eksistensi agama tidak digunakan untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan, sebaliknya agama dimanipulasi untuk memberikan legitimasi atas munculnya tindakan eksploitasi pada masyarakat miskin dan marginal. Agama mengalienasikan manusia dari diri dan realitas sosial.
Gugatan Karl Marx terhadap agama (khususnya Kekristenan) tidak perlu dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi kekristenan. Sebaliknya, kritik ini harus dilihat secara positif sehingga agama mampu menemukan kekurangannya dan berubah ke arah yang baik. Oleh karena itu, dengan memahami konteks sosial Karl Marx, kritiknya terhadap agama dapat dipahami sebagai kegelisahannya atas model keberagamaan yang dominan saat itu yang justru menjadi alat kekuasaan. Kritik Marx ini menjadi landasan untuk merekonstruksi teologi yang humanis yang mampu membebaskan dan mengemansipasi manusia dari segala belenggu.
Riwayat Hidup Singkat Karl Marx[1]
Karl Marx adalah seorang filsuf ekonomi berkebangsaan Jerman yang hidup dalam kurun waktu tahun 1818-1883. Ia lahir tanggal 5 Mei di Trier-Jerman, anak kedua dari delapan bersaudara. Ayahnya seorang ahli hukum—pindah agama dari Yahudi ke Kristen—karena tekanan sosial.
Semasa muda, Marx anti terhadap agama, khususnya anti semitik. Marx mulai berkecimpung dalam dunia politik dengan membentuk Liga Komunis di London sekitar tahun 1847.
Kegiatan berpolitik ini juga muncul dalam konteks lahirnya:
- Pertama, revolusi Perancis di mana sistem kekuasaan monarki perlahan diganti dengan sistem negara modern.
- Kedua, revolusi industri menghasilkan pemikiran perihal kesetaraan hak yang sama dan menyebabkan tanggung jawab yang sama pula. Inilah kedua revolusi yang membawa dampak nyata dalam masyarakat yakni ketidakadilan sosial yang menjadi titik tolak penelitian Karl Marx.
Kontek Sosial, Politik dan Agama Zaman Hidup Karl Marx
Salah satu argumen Karl Marx yang membawa dampak besar pada zamannya adalah agama membutuhkan penjelasan dari sisi kondisi sosial dan ekonomi. Marx cenderung melihat keberadaan agama sebagai perwujudan keterasingan ekonomi. Roland Boer mengetengahkan tiga pokok dasar dari perkembangan pemikiran Marx, yakni konteks di mana ia mengembangkan materialisme historis, menggunakan agama untuk mengelaborasi pemikirannya, dan argumen langsung mengenai agama.[2]
Keadaan Jerman Abad ke-19 mengindikasikan adanya penggunaan teologi dan Alkitab untuk menjawab persoalan-persoalan modern. Di Jerman terjadi perdebatan terbatas pada sifat Alkitab. Bahkan mengingat sifat ketidakterpisahan antara agama dan politik di “negara Kristen”, maka menyerang Alkitab atau agama berarti sama halnya dengan mengusik status quo politik negara tersebut.
Misalnya, karya Das Leben Jesu (David Strauss, 1835, bahwa kisah Yesus dalam Alkitab adalah mitologi belaka); Bruno Bauer (yang menentang partikularitas agama yang menindas); Feuerbach (agama adalah proyeksi dari apa yang terbaik dari dalam diri manusia). Dengan demikian, melalui karya teologi dan Alkitab—pertanyaan-pertanyaan modern seputar demokrasi, hak-hak, kebebasan (pers), dll—berusaha di jawab. Atas alasan inilah Marx mulai mengembangkan pandangannya terhadap teologi dan mengambil posisi yang lain dari arus umum di Jerman pada abad 19.[3]
Dalam perkembangan, Marx memiliki pandangan yang berbeda dengan Hegel. Marx mengambil metode dialektik Hegel untuk menunjukkan ikatan antara filsafat, sejarah, dan masyarakat. Bedanya, Marx tidak memandang dunia sebagai kumpulan hal-hal yang baku, melainkan terdiri dari proses-proses. Bagi Marx, tidak ada sesuatu yang bersifat tetap dan mutlak sebagaimana yang diyakini Hegel. Dalam dunia yang ada hanyalah proses menjadi dan hancur.
Selain itu, berbeda dengan Hegel yang memandang dunia sebagai realisasi ide, Marx mengajukan pandangan bahwa ide merupakan transformasi kondisi material.[4]Tatanan ekonomi masyarakat akan mempengaruhi konstruksi kehidupan sosial, politik dan spiritual masyarakat. Dengan demikian, bangunan superstruktur seperti institusi-institusi politik, hukum, agama, filsafat dan sebagainya merupakan transformasi struktur ekonomi material.[5]
Roland Boer mengungkapkan bahwa Karl Marx—dalam perjalanan intelektualnya—sedikit banyak dipengaruhi oleh tiga tokoh ini, yakni Ludwig Feuerbach, Bruno Bauer, dan Max Stirner.[6]
Pertama, mengenai Ludwig Feuerbach. Roland Boer mengungkapkan bahwa Marx setuju dengan konsep agama dan Tuhan sebagai proyeksi diri manusia, konsep Feuerbach. Tuhan bukanlah makhluk yang sudah ada sebelumnya dan menentukan keberadaan manusia. Sebaliknya manusialah yang menentukan keberadaan Tuhan.
Ini berarti Marx menilai bahwa argumen Feuerbach adalah akhir dari kritik bagi agama. Namun, Marx melampaui pandangan ini, antara lain;
- Selama manusia memproyeksi agama dari dalam diri mereka sendiri, manusia harus mulai menganalisis hidupnya bukan di langit, melainkan di bumi. Artinya, manusia berada dalam hubungannya dengan sistem sosial, ekonomi, politik di mana ia hidup.[7]
- Proyeksi adalah sebuah fakta bahwa ada sesuatu yang keliru di bumi ini sehingga manusia menempatkan harapannya di tempat lain, yaitu surga. Agama menjadi wujud dan tanda keterasingan sosial-ekonomi yang butuh pembaruan.
Kedua, terkait tokoh Bruno Bauer, Roland Boer melihat—di satu sisi—Karl Marx memang mengagumi Bauer. Namun, di sisi lain, Marx kontra dengan Bauer. Alasan kontra, karena Bauer mencapai posisi republik dan demokratis radikal melalui teologinya. Marx sangat tidak setuju perihal pandangan Bauer bahwa teologi berurusan dengan surga dan bukan bumi.
Ketiga, terkait tokoh Max Stirner. Roland Boer mengungkapkan bahwa kontak pemikiran Karl Marx dengan Max Stirner terjadi karena paham mengenai materialisme historis sebagai tanggapan kritis terhadap catatan Stirner tentang sejarah dunia. Artinya, Marx menawarkan sebuah teori alternatif tentang bagaimana memahami sejarah dunia. Strainer sangat fokus pada pengembangan individu, yakni Yesus menjadi pijakannya. Sebaliknya, Karl Marx menekankan unsur kolektif masyarakat, yakni menekankan kontradiksi internal kelas sosial, ekonomi dan mode produksi.
Agama sebagai Alienasi dan Opium
Dalam bagian ini, penulis akan mengelaborasi dua hal ini, antara lain;
- Pertama, agama sebagai alienasi diri manusia.
- Kedua, agama sebagai candu bagi manusia.
Daniel Pals mengungkapkan bahwa dalam penelitian intelektualnya, Karl Marx lebih banyak memberi perhatian seputar politik dan ekonomi. “Teori” agama Marx adalah salah satu bagian kecil dari penelitiannya.[8]
Karl Marx secara gamblang mengatakan bahwa sejarah dan perkembangan manusia adalah perjuangan antarkelas. Sejak awal kehidupan, ide-ide tidak dapat menggerakkan manusia, tetapi perhatian manusia akan kebutuhan materialnyalah yang menggerakkannya. Artinya, pertama-tama manusia harus makan, minum, memiliki tempat tinggal dan pakaian, barulah mengejar hal-hal lain seperti politik, ilmu pengetahuan, seni dan agama. Untuk memenuhi kebutuhan pokok ini, manusia harus bekerja atau mengembangkan mode produksi.[9]
Mode produksi[10] versi Karl Marx selalu mengalami evolusi. Dulu dalam masyarakat primitif, manusia memperoleh kehidupan dari kegiatan berburu dan mengumpulkan makanan, menanam biji-bijian. Di sini terjadi hubungan produksi. Dalam masyarakat kuno, orang primitif belum memikirkan soal kepemilikan pribadi. Setelahnya dalam masyarakat peradaban klasik, manusia justru sangat menjunjung tinggi kepemilikan pribadi. Di sini manusia mulai saling menjual hasil produksinya sehingga terjadilah pertukaran hasil produksi.
Dalam Abad Pertengahan, mode produksi tetap sama dan konflik kelas di antara tuan dan budak tetap ada. Selanjutnya, dalam peradaban modern, kapitalisme modern menawarkan sebuah manufaktur komersil. Hanya orang-orang yang memiliki alat-alat produksi yang memiliki hak kepemilikan, sedangkan para buruh yang tidak memiliki alat-alat produksi terpaksa menjual tenaganya dan menjadi hamba bagi kaum kapitalis. Akibatnya, terjadilah pertentangan antarkelas (proletar vs kapitalis) dan puncaknya revolusi—bagi Karl Marx—akan muncul dengan sendirinya.[11]
Daniel Pals menguraikan bahwa konteks atau latar belakang Marx membahas agama selalu ada hubungannya dengan ekonomi dan perjuangan kelas. Bagi Marx agama adalah sebuah ilusi; ideologi yang memberikan alasan bagi masyarakat yang menderita dan tertindas agar tidak melawan kaum kapitalis. Agama adalah produk sampingan dan tidak menyenangkan dari perjuangan kelas. Dengan kata lain, agama menjadi tempat pelarian, alienasi dari diri sendiri, karena keadaan miskin masyarakat yang penuh tekanan.[12] Di dalam masyarakat seperti ini, manusia tidak bisa mengembangkan dirinya sehingga membuatnya melarikan diri ke dunia semu, tempat Allah berada.
Karena agama adalah produk sampingan perjuangan kelas, Marx menyatakan agama sebagai alienasi atau keterasingan diri manusia. Baginya Aktivitas keagamaan dan sosial ekonomi memiliki kesejajaran, yaitu memberikan keterasingan bagi manusia. Sebagaimana agama merampas jasa kemanusiaan kita dan memberikannya kepada Tuhan, demikian pula ekonomi kapitalis merampas ekspresi diri sejati para pekerja dan memberikannya sebagai komoditas kepada kaum kapitalis.
Alienasi dalam agama hanyalah ekspresi dari ketidakbahagiaan manusia yang mendasar, yang selalu bersifat ekonomi. Keterasingan permukaan yang tampak dalam agama hanyalah bayangan cermin dari keterasingan yang nyata dan mendasar dari kemanusiaan, yang bersifat ekonomi dan material. Dengan demikian, agama adalah ungkapan kemiskinan dan sekaligus protes atas kemiskinan manusia yang keberadaannya mandek.[13]
Daniel Pals menjelaskan, bagi Karl Marx, agama menjadi candu[14] masyarakat karena ajarannya membuat nyaman manusia, khususnya kaum proletar. Baginya, ajaran agama meninabobokan kaum proletar, sehingga mereka menerima keadaan kemiskinannya dan lupa mengubah status quo penindasan yang mereka alami.[15]
Pernyataan di atas—agama adalah candu masyarakat—mengindikasikan bahwa agama hanyalah sebuah kekuatan sosial di mana kodrat manusia terbentuk. Fungsi agama bagi manusia ialah untuk mengharapkan ketenangan dalam hidup dan sebagai sarana berkeluh kesah ketika menghadapi problematika hidup. Manusia menjadikan Tuhan sebagai teman untuk mencurahkan keluh kesah. Oleh karena itu, untuk melepaskan belenggu agama, manusia harus melakukan mode produksi yang menjadi eksistensi sekaligus esensi dirinya.[16]
Daniel Pals menambahkan bahwa unsur candu dari agama dapat meringankan penderitaan rasa sakit para pekerja di dunia kerja yang kejam. Agama sebagai bagian dari bangunan supernatural memberikan fantasi untuk semua kesedihan dan penindasan. Orang yang melompat ke dunia imajiner agama ibaratnya orang yang kecanduan narkotika. Oleh karena itu, akibat kecanduan ajaran-ajaran agama (misalnya ajaran perihal surga), orang seolah-olah merasakan ketenangan dan membuat mereka lupa untuk mengembangkan dirinya. Dengan demikian, agama mengalihkan pandangan mereka ke atas kepada Tuhan ketika seharusnya orang benar-benar terarah ke bawah, yakni pada kondisi ketidakadilan materi yang merupakan situasi fisik mereka.[17]
Pertanyaan lanjutannya, jika bagi orang yang tertindas, agama menawarkan semacam tempat pelarian, maka bagaimana peran agama bagi orang yang tidak tertindas? Daniel Pals berargumen bahwa bagi Marx peran agama untuk orang kaya terletak pada penggunaan ideologi, sistem gagasan yang ada dalam agama untuk mengingatkan orang miskin bahwa semua tatanan sosial harus tetap seperti adanya. Tuhan menghendaki agar orang kaya tetap berkuasa dan orang miskin yang bekerja tetap berada di tempat mereka berada. Peran agama dalam sejarah telah menawarkan pembenaran ilahi untuk status quo, untuk kehidupan seperti yang kita temukan.[18]
Perihal agama sebagai opium atau candu, Daniel Pals mengakhiri analisanya terhadap Karl Marx dengan menyatakan bahwa bagi Marx kepercayaan pada Tuhan adalah ilusi yang kejam, melumpuhkan dan memenjarakan. Di satu sisi, ilusi agama ini melumpuhkan para pekerja untuk melakukan pengembangan diri dalam mode produksi. Harapan akan surga membuat mereka puas akan bumi. Di sisi lain, agama memenjarakan karena ia mempromosikan penindasan dengan menghadirkan sistem kepercayaan yang menyatakan bahwa kemiskinan dan kesengsaraan adalah fakta kehidupan yang harus diterima dan dipeluk oleh orang biasa.[19]
Evaluasi Terhadap Pandangan Karl Marx
Dari elaborasi singkat di atas, tampak jelas bahwa pandangan Karl Marx terhadap agama sangatlah tajam dan keras. Jika kita membaca dan memahami argumen Marx—agama sebagai alienasi dan opium—dalam konteks dan cara berpikir di era Karl Marx, maka kita akan memperoleh beberapa poin penting sebagai berikut.
Pertama, perihal ambivalensi agama sebagai opium.[20]
Di satu sisi, Boer melihat bahwa istilah candu memiliki makna yang rancu, karena berbeda dengan candu yang berarti narkotika yang merusak. Penderitaan agama mungkin merupakan ekspresi dari penderitaan yang sebenarnya dan agama mungkin merupakan ungkapan keresahan hati dan jiwa dari dunia yang penuh ketidakadilan. Agama merupakan protes terhadap penderitaan yang manusia alami.
Di sisi lain, konteks Eropa abad ke-19 memperlihatkan adanya ambivalensi dalam makna kata opium. Pada saat itu, opium tidak hanya berarti obat-obatan, pecandu, tetapi juga berguna sebagai obat yang bermanfaat sekaligus kutukan. Opium adalah satu-satunya obat yang tersedia untuk pekerja miskin, sumber visi utopis bagi seniman dan penyair. Selain itu, opium pada masa itu juga mendapat label sebagai sumber kecanduan dan penyakit.[21]
Kedua, nilai positif dari kritik Marx terhadap agama.
Penyangkalan Marx atas roh (yang diagungkan oleh Hegel) bertujuan untuk mengkritisi bahasa-bahasa agama yang meninabobokan masyarakat miskin. Baginya ajaran-ajaran agama pada zaman itu telah mengarahkan masyarakat yang tertindas untuk fokus pada tujuan hidup yang abadi dan sama sekali tidak menyentuh kebutuhan material manusia.
Selain itu, Marx juga memberi dukungan atas keberadaan agama. Menurutnya, dalam dunia material, agama harus dapat diwujudkan ke dalam bahasa-bahasa material pula. Oleh karena agama untuk manusia, maka patutlah agama dapat menjadi fasilitas bagi manusia mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan. Agama harus mampu mengembalikan esensi dan eksistensi manusia, yakni bekerja dan berproduksi.[22]
Ketiga, keterkaitan hidup beragama dan hidup sosial kemanusiaan.
Secara positif pandangan Marx menunjukkan bahwa hidup keagamaan harus selalu berkaitan erat dengan hidup sosial kemanusiaan. Beragama tidak boleh mengacuhkan dan mengabaikan aspek kehidupan bersama.
Dalam perkembangan teologi Kristen, misalnya teologi-teologi pembebasan yang muncul di benua Amerika Latin dan negara-negara dunia ketiga, telah menunjukkan bahwa Gereja terus memperbarui dirinya. Gereja peduli dengan ketidakadilan struktural yang terjadi dan berusaha untuk merumuskan pandangan teologisnya agar sesuai dengan konteks tertentu demi pembebasan bagi masyarakat yang miskin dan menderita.[23]
Keempat, ajaran agama seharusnya mendorong manusia semangat berusaha.
Marx juga mengajak orang-orang beragama agar perlu waspada menerapkan ajaran agamanya. Para tokoh agama hendaknya tidak menyalahgunakan ajaran-ajaran agama untuk meninabobokan pengikutnya. Sebaliknya, penafsiran dan penerapan ajaran agama perlu mendorong orang untuk berusaha mengembangkan dirinya dan membangun masyarakat.
Dalam kaitannya dengan penyalahgunaan ajaraan agama, Adrianus Sunarko menyatakan bahwa di era modernisasi ini kita sering menemukan gejala fungsionalisasi kata atau tema Allah. Artinya, ada orang-orang yang menggunakan kata Allah untuk kepentingan diri pribadi saja. Mereka mendomestikasi atau mereduksi Allah hanya sebatas satu faktor saja, misalnya agama sebagai urusan privat. Akibatnya, secara tak sadar peran agama untuk dunia sosial dan politik menjadi tumpul.[24]
Kritik Karl Marx
Kritikan Karl Marx terhadap agama sebagai alienasi dan opium pasti menyentak dan mengusik kesadaran komunitas agama. Terlebih bagi mereka yang memandang agama sebagai bagian eksistensial manusia yang bersifat primordial tentu terperanjat. Namun demikian, alangkah bijak jika kita tidak perlu membantah kritik ini.
Sebaliknya, kita seharusnya menanggapi kritik Marx ini dengan sikap yang bijaksana karena bisa menjadi autokritik atas kekurangan model keberagamaan kita yang bersifat formal. Dengan memahami konteks sosial Karl Marx, kita dapat memahami kritiknya terhadap agama sebagai kegelisahannya atas model keberagamaan yang dominan pada masanya yang beririsan dengan kekuasaan (politik) sehingga menimbulkan ketidakadilan.
Kehadiran agama pada zaman Karl Marx telah mengabaikan perhatiannya terhadap peningkatan kualitas kemanusian. Sebaliknya, agama telah salah jalan—“bersekongkol dengan kekuasaan”—dan melalui ajaran-ajarannya melegalkan terjadinya penindasan atas ketidakadilan bagi masyarakat khususnya kaum proletar. Singkatnya, agama mengalienasi diri manusia dan menjadi opium bagi masyarakat kala itu.
Kritik Karl Marx bahwa agama sebagai alienasi dan opium telah menjadi titik tolak bagi agama untuk merekonstruksi kembali hakikat keberadaan dirinya. Kita perlu meninjau kembali pemahaman teologis yang salah, demi terciptanya pemahaman teologis baru (seperti teologi-teologi pembebasan) dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. Oleh karena itu, orang-orang beragama perlu mewaspadai oknum-oknum yang mengatasnamakan ajaran agama untuk memecah belah kehidupan bersama.
Ket: tulisan ini dulu publikasi di penaclaret.com, kini publikasi ulang di ClaretPath.com ini, setelah terdapat beberapa revisi.
Footnote:
[1] Bagian ini penulis ringkas dari Daniel L. Pals, Eight Theories of Religion, 2nded, (New York and Oxford: Oxford University Press, 2006), 120-123.
[2] Roland Boer, “Opium, Idols and Revolution: Marx and Engels on Religion”, dalam jurnal Religion Compass 5/11, (Blackwell Publishing, 2011): 699.
[3] Roland Boer, “Opium, Idols and Revolution: Marx and Engels on Religion”, 699.
[4] Daniel L. Pals, Eights Theories of Religion, 120.
[5] Bdk. Daniel L. Pals, Eights Theories of Religion, 121.
[6] Untuk bahasan mengenai tiga tokoh ini penulis ringkas dari Roland Boer, “Opium, Idols and Revolution: Marx and Engels on Religion”, 699-701.
[7] Bdk. J. Sudarminta dan S. P. Lili Tjahjadi, eds, Dunia, Manusia, dan Tuhan: Antologi Pencerahan Filsafat dan Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 148.
[8] Daniel L. Pals, Eights Theories of Religion, 119.
[9] Daniel L. Pals, Eights Theories of Religion, 123.
[10] M. Misbah mengartikan mode produksi sebagai “seluruh proses pemenuhan kebutuhan manusia, sebagai elemen dasar kehidupan manusia, maka mode produksi dalam kehidupan material ekonomi akan sangat mempengaruhi proses-proses kehidupan masyarakat dalam berbagai aspeknya.” M. Misbah, “Agama Dan Alienasi Manusia (Refleksi Atas Kritik Karl Marx Terhadap Agama)”, dalam jurnal KOMUNIKA, Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015: 198.
[11] Daniel L. Pals, Eights Theories of Religion, 124-125.
[12] Daniel L. Pals, Eights Theories of Religion, 132-133.
[13] Daniel L. Pals, Eights Theories of Religion, 134.
[14] Opium diklasifikasikan sebagai Papavers omni ferum. Genus ini dinamai dari kata benda Yunani untuk poppy, spesies dari kata Latin yang berarti ‘pengantar tidur’. Linnaeus seorang bapak botani adalah tokoh yang pertama kali mengklasifikasikannya dalam bukunya Genera Plantarum pada tahun 1753.Bahkan Papavers omni ferum mungkin telah berevolusi, atau dihasilkan, baik dari poppy liar, Papaver Setigerum, yang mengandung sejumlah kecil opium dan yang tumbuh secara asli di seluruh negara yang berbatasan dengan Laut Mediterania, atau dari poppy asli Asia Kecil. Untuk pembahasan mengenai opium ini, silahkan lihat dalam Martin Booth, Opium : A History, (New York: St. Martin’s Press, 1998).
[15] Daniel L. Pals, Eights Theories of Religion, 135.
[16] Firdaus Achmad, “Marxisme Dalam Islam: Bagaimana Manusia Diberikan?”,dalam Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies, Volume 3 Nomor 2 September 2013: 159.
[17] Daniel L. Pals, Eights Theories of Religion, 135.
[18] Daniel L. Pals, Eights Theories of Religion, 136.
[19] Daniel L. Pals, Eights Theories of Religion, 136.
[20] Roland Boer, “Opium, Idols and Revolution: Marx and Engels on Religion”, 703.
[21] Bdk. Andrew M. McKinnon, “Opium as Dialectics of Religion: Metaphor, Expression, and Protest”, dalam jurnal Critical Sociology (2005) vol 31, no. 1/2: 2-9.
[22] Firdaus Achmad, “Marxisme Dalam Islam: Bagaimana Manusia Diberikan?”, 159.
[23] Mateus Mali, “Gutierrez dan teologi Pembebasan”, dalam jurnal Orientasi Baru, Volume 25, Nomor 01, April 2016: 19.
[24] Adrianus Sunarko, “Berteologi bagi Agama di Zaman Post-Sekular”, dalam jurnal DISKURSUS, Volume 15, Nomor 1, April 2016: 26-27.
[1] Paper (Agama sebagai Alienasi dan Opium) ini adalah pengembangan dari paper yang penulis presentasikan pada forum diskusi di kelas).
ClaretPath.Com adalah ruang pengembangan bakat menulis dan media kerasulan, terinspirasi dari Santo Antonius Maria Claret, Pelindung Pers Katolik.