ClaretPath.com – Ironi Pendidikan dalam Digitalisasi
Indonesia yang kini memasuki revolusi 4.0 telah mendatangkan banyak keuntungan. Digitalisasi berkembang dalam semua lini kehidupan. Konsekuensinya jelas, semua pekerjaan dipermudah. Akses informasi lebih cepat, demokrasi dapat dikontrol seluas-luasnya, publik menjadi panoptikon birokrasi, merdeka belajar menjadi trend, dan aneka kemajuan lainya yang tidak sempat disebutkan. Alhasil semua pekerjaan dipermudah. Sebagai seorang mahasiswa penulis lebih tertarik untuk menyoroti posisi pendidikan dalam kancah revolusi industri, khususnya digitalisasi.
Sejak zaman klasik buku menjadi akses pengetahuan dan penggerak roda peradaban[1]. Orang bahkan rela untuk menyalin karya seseorang secara manual demi mengembangkan pengetahuan. Misalnya, karya Aristoteles yang kemudian disalin oleh para cendikiawan Muslim kemudian dibawa masuk lagi ke Eropa. Era digitalisasi menendang jauh kebiasaan itu sekaligus menghadirkan “kemajuan”. Semua sumber pengetahuan tertumpah ruah. Orang dapat mengakses sumber pengetahuan dari piranti-piranti media digital, seperti Google, Chat Gpt, Youtube, Tik tok, Twitter, dan lain sebagainya. Bahkan ada beberapa aplikasi yang dapat meringkas buku-buku tebal atau artikel yang panjang. Dengan demikian waktu membaca pun dipersingkat dan lebih proporsional. Seandainya kemajuan semacam ini sudah terjadi pada zaman Yunani Klasik, pengetahuan dan peradaban manusia barangkali sudah sangat maju. Bukan lagi pada kecerdasan Manusia 3.0.[2]
Akan tetapi, apakah benar kemajuan teknologi saat ini memberikan kemajuan bagi manusia atau justru melahirkan patologi atau penyakit baru? Beberapa fakta miris justru menjadi antitesis kemajuan dunia pendidikan kita saat ini. Sebut saja plagiarisme dan piranti pendukungnya yang cukup signifikan. Di satu sisi teknologi menciptakan aplikasi pendeteksi plagiasi seperti Turnitin, yang praktisnya mengedepankan budaya apresiasi, nilai kejujuran, dan kerendahan hati akademik. Namun, di lain sisi teknologi juga menghadirkan aplikasi anti plagiarisme. Hanya bermodalkan sekali klik aplikasi ini dapat memparafrase karya seseorang, sehingga menjadi satu karya yang baru.[3] Bahkan yang lagi hangat di telinga kita belakangan ini adalah kemunculan Chat Gpt yang diluncurkan pada November 2022 silam.
Piranti Chat Gpt ini diprediksi akan laris di pasar online karena mengungguli kemampuan Google. Chat Gpt memiliki kemampuan komputasi dan akumulasi data yang lebih besar. Adapun sokongan Artificial Intelligence (AI) membuat Chat Gpt ini mempunyai kemampuan untuk belajar secara mandiri dan terbuka untuk dikoreksi demi pembenahan diri yang semakin canggih.[4]
Adapun Chat Gpt dapat memfasilitasi banyak pertanyaan dan kebutuhan, seperti mengerjakan tugas kuliah, membuat paper atau esai sesuai kriteria yang diinginkan – tanpa terdeteksi plagiarism – pemrograman, dan kegiatan praktis lainnya. Alhasil pekerjaan siswa atau mahasiswa yang memakan waktu lima hari dapat dipersingkat menjadi hitungan menit.[5] Kebiasaan belajar, apalagi membaca buku yang tebal dirasa sebagai membuang-buang waktu. Ironisnya, dekadensi kejujuran akademik dan mentalitas instan tentu tidak dapat dinafikan lagi.
Krisis kejujuran akademik tidak hanya terpapar pada mahasiswa atau siswa pada umumnya. Kompas 10 Februari 2023 menerbitkan satu artikel yang sangat memilukan para akademisi; “Calon Guru Besar Terlibat Perjokian Karya Ilmiah.”[6] Fakta miris ini mengingatkan kita pada konsep infrastruktur Karl Marx di mana uang menjadi sel dasar penyulam segala aspek kehidupan. Uang mendikte segala perilaku manusia, bahkan nilai-nilai kehidupan, salah satunya kejujuran akademik, akhirnya harus bertekuk lutut di hadapan uang.[7] Persis inilah suatu tantangan pendidikan saat ini.
Kenyataan miris semacam ini sebenarnya mempunyai pendekatan yang kompleks agar dapat diretas. Akan tetapi persoalan ini tidak terlepas dari faktor internal dan faktor eksternal.[8] Secara internal, kiranya pendidikan saat ini sepertinya menyadarkan akan kekeringan dimensi kesadaran etis dan moralitas akademik. Terkurasnya moralitas ini membuat orang tidak memiliki integritas dihadapan godaan kemajuan semu. Karena itu sistem kepentingan pendidikan saat ini hendaknya tidak hanya mampu survive di dunia kerja dengan kapital simbolik, seperti Ijazah, atau Indeks Prestasi kumulatif (IPK), tetapi karena integritas diri. Model pendidikan semacam ini hanya memfokuskan pada strategi instrumental di mana pengetahuan kognitif dan spesialisasi profesi diprioritaskan. Padahal pendidikan itu untuk hidup – non scholae sed vitae discimus. Dan hidup yang dimaksudkan “hidup” di sini bukan sekadar ada di dalam dunia (etre-en-soi), tetapi turut memainkan peran sebagai manusia di dalam dunia: sebagai makhluk berkebijaksanaan, bersosietas, berakal budi, bereligius, dan sebagainya (etre-au- monde). Dengan demikian, panggilan mendesak saat ini bagi sistem pendidikan kita adalah memasifkan siraman moralitas-etis.
Selain dimensi internal, sebagai suatu institusi yang resmi, dibutuhkan juga sebuah dukungan sistem eksternal, yaitu tatanan hukum positif yang kiranya memberikan arah pendidikan yang jelas. Adanya hukum positif ini diharapkan mampu meningkatkan nilai dan integritas para civitas akademik. Hukum positif ini lebih mengikat dan cukup efektif karena tercakup di dalamnya sanksi yang dapat bekerja ketika moralitas dan kesadaran etis menjadi lemah.[9] Akan tetapi hukum positif ini akan tertinggal sebagai huruf-huruf mati dalam lembar konstitusi apabila tidak disokong dengan kerja sama dalam lingkungan dan tatanan akademik yang korporatif. Karena itu mimpi besar untuk memperbaiki kualitas pendidikan, tentu butuh kerja sama dari berbagai pihak, baik keluarga, para guru atau dosen, masyarakat, dan pemerintah.
Dua sumbangan ini meskipun belum komprehensif, tetapi kiranya menjadi satu sumbangan bagi peningkatan kualitas pendidikan yang dewasa ini menghadapi tantangan “kemajuan” teknologi. Kereta waktu hampir berangkat, kitalah penumpang di halte itu.
[1] Sindhunata, “Salam Redaksi Ulang Tahun Basis ke- 70 Tahun”, Basis, 2021
[2] Max Tegmark, Life in 3.0, 2016
[3] Ester Lince Napitupulu, “Atasi Godaan Mahasiswa Mencontek”, Kompas, 02 Februari 2023 dan R. Arifin Nugroho, “Korosi Plagiasi di Sekolah, Kompas, 01 Februari 2023
[4] Lih. https://www.profolus.com/topics/advantages-and-disadvantages-of-chatgpt/
[5] Lih. https://langit7.id/read/29837/1/5-manfaat-chatgpt-bisa-tingkatkan-produktivitas-kerja-1676548949
[6] Kompas, “Calon Guru Besar Terlibat Perjokian Karya Ilmiah”, 10 Februari 2023
[7] Karl Marx, The German Ideology, 1858
[8] Peter Berger and Lucman, The Social Construction of Reality, 1966
[9] Magnis-Suseno, Etika Politik, 1987
Mahasiswa Filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pengagum absurditas Albert Camus