Gagasan Kaum Feminis tentang Martabat Perempuan dalam Fenomena Kawin Tangkap di Sumba

Oleh Yohanes Jos Karlos

Gagasan Kaum Feminis tentang Martabat Perempuan dalam Fenomena Kawin Tangkap di Sumba

ClaretPath.com – Gagasan Kaum Feminis tentang Martabat Perempuan dalam Fenomena Kawin Tangkap di Sumba

Oleh Yohanes Jos Karlos

Negeri ini penuh dengan keragaman hayati yang menghiasi seluruh kehidupan masyarakat di dalamnya. Keragaman ini sungguh memberikan dampak yang sangat besar terhadap setiap komponen bidang kehidupan, misalnya, kekayaan alam dimanfaatkan demi kepentingan ekonomi masyarakat dan sebagainya. Selain itu budaya juga sungguh memberi gambaran yang jelas terhadap identitas bangsa sebagai bangsa yang beragam budaya atau multikulturalisme.

Masyarakat multikulturalisme dimaksudkan sebagai masyarakat yang penuh dengan nilai-nilai budaya, tradisi, adat kebiasaan atau adat istiadat yang khas dan unik di dalamnya. Dan hal ini menjadi pengikat dan sekaligus kekuatan untuk membangun sebuah kesatuan dalam perbedaan budaya, membangun kesadaran publik mengenai yang bangsa pluralistik serta mendobrak berbagai pintu kolonialisme budaya sehingga negeri ini menjadi negeri yang penuh toleransi dan punya rasa cinta terhadap budaya.

Setiap daerah memiliki budaya yang berbeda-beda. Dalam keberbedaan tersebut ada nila-nilai dan prinsip-prinsip serta norma-norma yang diperjuangkan untuk menawarkan dan memposisikan seseorang pada kerangka budayanya masing-masing. Selain itu, untuk membangun masyarakat yang penuh dialog terhadap kohesif sosial dan kedamaian serta kesatuan bangsa ini. Untuk itu, setiap daerah mencoba membangun kesatuan dalam aneka tradisi yang dihayati dan dihidupkan masyarakat, agar masyarakat semakin memiliki kesadaran akan eksistensi budaya dalam kehidupan bersama.

Tradisi -tradisi yang dibangun untuk mengikat dan mewadahi setiap orang memahami kebijaksanaan masyarakat(Local wisdom) dalam menyusun peradaban. Setiap orang harus menaati dan mewariskan nilai dan prinsip dalam budayanya masing-masing, sebab setiap budaya memiliki unsur-unsur yang mengikat setiap orang untuk tidak dan melakukan sesuatu. Maka budaya-budaya masyarakat direspons sebagai tali yang mengikat sendi-sendi  dan tindakan setiap orang  untuk melaksanakan dan menghidupi segala nilai, norma, prinsip serta etika sosial dalam kebersamaan(Social interrelation).

Selain daripada itu, budaya juga dianggap dan dipandang sebagai pengontrol kebijakan setiap pribadi agar menjaga keteraturan dan keseimbangan dalam mencapai kesatuan masyarakat dalam ruang lingkup perbedaan.

Salah satu fenomena yang diangkat dalam tulisan ini ialah tradisi kawin tangkap di tanah Merapu, Sumba. Kejadian ini telah viral di media sosial beberapa hari ini. Pasalnya, tradisi kawin tangkap ini menjadi sangat lumrah dilakukan oleh masyarakat dalam upaya menjalin percintaan yang lebih serius, sampai ke jenjang pernikahan. Masyarakat Sumba Barat Daya(SBD) sangat terkenal dengan tradisi agama Merapu, tradisi aksi Pasola, tradisi pinang-meminang gadis dengan belis atau mahar yang sangat mahal dan terdapat destinasi wisata yang memanjakan mata. Tetapi tradisi yang satu ini cukup ironis dan miris apabila diterapkan dan diwahriskan pada generasi milenial saat ini.

Tradisi ini menjadi headline karena oknum-oknum atau para pelaku melakukan penangkapan secara diam-diam, terencana, terorganisir, dan tidak beradab terhadap seorang wanita. Apabila kita membaca seluruh ulasan media sosial tentang peristiwa ini menampilkan kebobrokan dan kebodohan masyarakat tentang nilai penghargaan terhadap eksistensi perempuan, ada praktik kebiadaban yang dilakukan oleh para oknum dalam membangun kerangka percintaan. Ada persekongkolan kejahatan dan pemaksaan terhadap kebebasan seorang wanita dalam menentukan nasib dan kebahagiaan dirinya dan ada praktik tradisi yang keliru dan missing(Tradition trouble in society).

Baca juga :  Berani Berekonsiliasi || Book Review

Dalam kerangka ini penulis mencoba membangun sebuah gagasan dan kesadaran masyarakat untuk mencermati dan memandang posisi perempuan dalam perspektif kaum feminis, sedikit membongkar kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap seorang gadis Sumba; dengan titik pijak pada gender equality.

Dalam ruang lingkup pemikiran kaum feminis tentang kebebasan dan nilai martabat perempuan sungguh dikumandangkan dan dijunjung tinggi keberadaannya. Kesadaran mengenai posisi perempuan sebagai kaum yang lemah dan memiliki peran sosial yang terbatas harus ditempatkan pada  spasial yang sentrum. Artinya kaum perempuan harus memilik ruang kesetaraan dan kusederajatkan dengan kaum pria dalam berbagai hal; penghargaan terhadap martabat perempuan (Woman dignity) mesti diperjuangkan oleh masyarakat.

Pemikiran mengenai nilai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sangat mendorong semua pihak untuk melakukan sebuah gerakan feminisme untuk memperjuangkan dan mendeklarasikan peran penting kaum wanita dalam kehidupan. Sebetulnya kaum feminis mengangkat realitas kaum perempuan sebagai figur yang memiliki kontribusi dan roles woman dalam berbagai bidang kehidupan, di sini mau dikatakan bahwa perempuan harus diberi ruang kebebasan berekspresi dan mengembangkan berbagai kemampuan dan talenta yang dimiliki.

Hari ini kaum feminis mencoba membangun ruang dialog dan kesadaran tentang kaum perempuan kepada masyarakat dunia agar tidak memandang dan menjustifikasi perempuan sebagai kaum yang nomor dua, objek kekerasan, pelaku kambing hitam, lemah, terbatas untuk melakukan sesuatu. Emansipasi terhadap perempuan perlu dilakukan dan didengungkan setiap saat, mengangkat ke permukaan nila-nilai luhur wanita, peran sosial wanita dan memberikan keleluasaan yang sebesar-besarnya untuk kaum perempuan berpartisipasi dalam membangun peradaban dunia.

Tradisi Kawin Tangkap[1]

Selain tradisi Merapu terdapat tradisi-tradisi lain yang memperkaya kebudayaan masyarakat Sumba, tetapi tradisi kawin tangkap memang salah satu tradisi dalam kultur orang Sumba Barat Daya (SBD). Apabila merujuk pada pandangan beberapa pemangku adat dan tokoh masyarakat mengklafikasi bahwa tradisi ini bukan asli tradisi masyarakat Sumba terutama masyarakat Sumba Barat Daya tetapi tradisi ini dibawa oleh masyarakat diaspora, sehingga tertanam dengan baik dalam alam kebiasaan masyarakat. Dalam hal ini sudah menjadi kebiasaan bahwa setiap kaum laki-laki ingin meminang anak perempuan dari keluarga tertentu; dan pihak laki-laki memiliki pilihan otoritas dalam menentukan jodoh atau pasangan hidupnya.

Di sini mau menggarisbawahi bahwa laki-laki mengambil seorang cewek dijadikan sebagai calon istri meskipun belum siap dan belum cukup umur. Dan apabil pihak cewek tersebut menolak permintaan pihak laki-laki dengan alasan tertentu maka pihak laki-laki akan menyusun strategi untuk mengambil atau menangkap cewek tersebut secara pihak saja. Meskipun ada kesepekatan dan ketidaksepakatan dari pihak keluarga, tindakan ini akan terjadi supaya perjodohan tersebut terus berlangsung cepat. Di sinilah ada praktik tradisi yang keliru dan menyeleweng nilai-nilai kemanusiaan, paling pokok ialah nilai penghormatan dan penghargaan terhadap kebebasan seorang wanita. Melalui peristiwa kawin tangkap ini menempatkan gerakan feminisme sebagai upaya menolak dan menuntut setiap masyarakat mengenai ketidakadilan terhadap kaum perempuan terutama melalu instrumen budaya.

Sebetulnya tradisi yang dipegang teguh oleh masyarakat betul-betul dijalankan secara intensif dan tidak merugikan atau bahkan merendahkan martabat wanita maka posisi tradisi tetap bernilai mengatur dan mentransfer hal-hal baik kepada setiap orang untuk melaksanakan kepatuhan terhadap norma dan prinsip dalam sistem kebudayaan masyarakat setempat. Tetapi tradisi justru menyimpang dan bahkan melanggar hak-hak utama dari seorang wanita maka ini dianggap ceroboh dan sewenang-wenang. Kehadiran dari kaum feminis untuk menyuarakan realitas keterbelengguan para kaum wanita yang merasa dijajah dan didiamkan dalam lingkungan masyarakat.

Baca juga :  Di Masa Tua Pun Masih Berbuah

Tindakan ini bisa merugikan dan berbahaya bagi penegakan terhadap hak dan kewajiban kaum wanita untuk melakukan sesuatu tanpa ada intimidasi dan kekerasan fisik untuk menemukan kebahagiaan dan masa depannya. Kaum feminis mencoba memberika beberapa gagasan dan pandangan terhadap gerakan membela kaum lemah dan tertindas dalam masyarakat untuk memberikan doktrin  bahwa kaum wanita bukan instrumen yang bebas pakai sesuai keinginan. Kaum wanita bukan dikomersialisasikan untuk mendapatkan keuntungan atau kepuasan dari pihak-pihak memiliki otoritas tetapi lebih dari itu, kaum perempuan harus mendapat pengakuan secara universal maupun secara partikular dalam masyarakat, mendapat ruang untuk bersaing dengan sehat dalam memajukan dunia, membela kepentingan-kepentingan kaum wanita agar hidup lebih layak serta mau menerima pribadi yang memiliki martabat yang luhur.

Kita tentunya memiliki kesadaran akan persamaan gender, kesederajatan antara laki-laki dan perempuan menjadi kekuatan untuk merawat kesatuan dan kesamaan dalam segala aspek kehidupan. Prihal peristiwa yang hari-hari ini ramai dibahas di media sosial menggerakan setiap lapisan masyarakat untuk memiliki kepekaan dan kesadaran yang utuh mengenai hak-hak kaum wanita. Mencoba mengulas dan memecahkan konsep patrialistik yang mengakar dalam budaya negeri ini, yang membuat semua laki-laki berhak menguasai dan memanfaatkan kaum wanita demi suatu kepentingan atau keinginan tertentu. Mengorganisasi cara pandang holistik terhadap kaum perempuan harus mendapat tempat strategis supaya masyarakat tidak memandang laki-laki yang lebih cocok dan pantas memimpin daripada kaum wanita. Sebetulnya dalam masyarakat sudah mengakarnya budaya patriaki yang menganggap perempuan sebagai kelas dua dan tak memiliki kapabilitas yang cukup untuk mengurus dan mengorganisir dalam masyarakat, perempuan hanya mengurus hal -hal  yang sederhana dan praktis dalam rumah.

Konsep klasik ini melegitimasi semua kaum adam untuk menindas dan melakukan represif terhadap kaum perempuan, persis kejadian yang menimpa kaum perempuan di Sumba yang merasa trauma akibat perilaku penculikan dan pelecehan yang berselimutkan budaya. Budaya yang demikian membuat pelegalan dan perizinan mengenai kawin tangkap yang mengatasnamakan tradisi. Dan ini sebetulnya motif-motif untuk melanggengkan kekerasaan dan perendahan terhadap hak -hak perempuan maupun hak asasi manusia pada dasarnya. Pada titik kulminasi ini kaum feminis mengajak dan menegakan kembali soal legitimasi terhadap hak-hak kaum perempuan dalam masyarakat. Artinya ada kesetaraan antara kaum laki-laki dan perempuan dalam berbagai dimensi kehidupan bersama, entah dalam hal kepemimpinan, perpolitikan, dalam dunia pendidikan dan dalam mengembangkan diri sebagai pribadi memiliki keistimewaan dan kesederajatan.

Dan penekanan lain, bahwa dihapuskan segala bentuk kekejaman, penindasan dengan berbagai motif, perendahan martabat wanita, pelecehan seksual, ujaran kebencian terhadap perempuan, tindakan kekerasan fisik dan mental, dan perekrutan massal terhadap perempuan. Hal-hal demikian yang memperdalam gap antara laki-laki dan perempuan sekaligus memberangus peradaban persamaan gender, kita mesti menyuarakan suara profetis terhadap penyimpangan-penyimpangan yang merendahkan martabat seorang perempuan.

Baca juga :  Dialog Abadi Benedictus XVI (1927-2022)

Apalagi membunuh karakter seorang wanita, inilah buah perjuangan dari kaum feminis dalam melihat berbagai praktik kejahatan terhadap perempuan. Kita mesti mempunyai kepekaan yang tinggi mengenai kebijakan-kebijakan yang menyelamatkan dan meninggikan derajat dan martabat perempuan,       terutama kasus kawin tangkap yang dilakukan beberapa oknum yang tak bertanggungjawab terhadap seorang wanita. Dan kehadiran perempuan dalam kancah sosial dan politik bukan untuk menyaingi dan memblokade eksistensi laki-laki melainkan partner kerja yang empati dan memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap setiap problematika kehidupan saat ini. Kita memiliki andil yang sama dalam berbagai sektor kehidupan ini, dan kita pun harus mempunyai kesadaran bahwa perempuan sebagai kaum yang perlu diberi ruang kebebasan untuk melakukan perubahan bagi masyarakat dan negeri ini.


[1]Tradisi kawin tangkap merupakan perkawinan yang dilakukan dengan cara menangkap perempuan dengan paksa untuk dikawinkan dengan pria yang tidak dicintainya dengan melakukan negosiasi dengan pihak kelurga perempuan sebelumnya. Zaman dahulu, kawin tangkap memiliki kearifan lokal masyarakat untuk menginternalisasikan nilai perjuangan dan kesetiaan dari pihak laki-laki dalam mendapatkan cinta kepada perempuan yang dicintainya itu. Sebetulnya secara adat dilegalkan bahkan diwahriskan secara turun-temurun oleh masyarakat karena ada nilai perjuangan dan tanggungjawab dari pihak laki-laki dan ada nilai kebersamaan di dalam perayaan adat tersebut. Misalnya, seorang laki-laki ingin meminang seorang perempuan yang dicintai tetapi karena ada halangan belis atau mas kawin dan lainnya, maka sulit tercapai keinginan tersebut. Kemudian pihak laki-laki akan melakukan negosiasi dengan orang tua atau keluarga pihak perempuan tanpa tahu dari pasangannya. Lalu dari situlah diadakan kawin tangkap terhadap pasangannya, namun sebelumnya sudah didekorasi dan dilengkapi pernak -pernik adat dalam rangka seremoni tersebut, barulah kemudian laki-laki yang pakaian adat akan menangkap perempuan yang dicintai tersebut. Dengan cara menciumnya, sambil kekasihnya menghindar dari laki-laki tersebut. Setelah itu, barulah pihak laki-laki membawa calon istrinya ke rumah orang tuanya. Setelah itu pihak laki-laki akan pergi ke rumah pihak perempuan sambil membawa parang dan seekor kuda untuk melapor keberadaan anak perempuan mereka dan sekaligus meminta maaf kepada pihak keluarga perempuan.

 Dan dari situlah ada sebuah persetujuan dan pengaminan terhadap kedua mempelai tersebut secara adat dan pihak keluarga masing-masing. Dan ada pun makna lain dari kawin tangkap ini  dalam mengangkat derajat atau menghilangkan  rasa malu kepada keluarga laki-laki.  Apabila diketahui bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan kawin tangkap ini yaitu, pertama, pihak perempuan dililit hutang, kedua, pihak laki-laki memiliki status sosial yang tinggi (konglomerat), ketiga, pendidikan tinggi , keempat, tradisi ini dilakukan untuk menghormati dan menghargai roh-roh nenek moyang mereka sebagai Merapu yang melindungi dan menjaga segenap kehidupan mereka sehari-hari.