ClaretPath.com – Dialog Abadi Benedictus XVI (1927-2022)
Di tahun 2016, ada suatu kejadian kecil sewaktu artikel semanal saya dikembalikan oleh P. Gusti Supurt, CMF. Artikel semanal itu tulisan mingguan yang “dipaksakan” kepada kami para frater Yogyakarta guna menumbuhkan pembiasaan akan cara bernalar yang runut dan tepat sasar. Saat itu saya menulis tentang Joseph Ratzinger. Tapi entah bagaimana dalam tulisan yang dikembalikan tertera tinta merah bernada satir, “Petrus Ratzinger itu dari Alor”. Baru saya sadari, ternyata yang saya tulis bukan Joseph tapi Petrus Ratzinger.
Pengalaman kekeliruan dan ejekan yang bermaksud baik antara saya dan P. Gusti ini, dapat dikatakan, menjadi kenangan tersendiri akan mendiang Paus Benediktus XVI yang berpulang pada 31 Desember 2022 silam.
Tulisan ini telah dibuat sejak lama, yakni di awal Januari, dengan maksud berkisah tentang pemikiran teologis Joseph Ratzinger yang disusun secara biografis. Maksudnya tidak lain adalah demi kemudahan dan di atas segalanya, agar lebih apa adanya. Tanpa melebih-lebihkan namun dengan penuh hormat menunjukkan bahwa “Kristus sebagai pusat” adalah inti dari pemikiran dan “pengalaman” berteologi Benediktus XVI.
Tema ini tentu saya pinjam dari P. Jim Korkery, SJ dalam artikelnya “’Now, Lord, you let your servant go in peace’…” yang dipublikasikan Thinking Faith sesaat setelah berpulangnya sang saksi mata Konsili Vatikan II.
Memang seturut nama pontifikalnya, “Benediktus”, Ratzinger adalah pecinta jalan sunyi. Lahir pada 16 April 1927 di Marktl am Inn, Jerman, Joseph Alois Ratzinger tidak hanya dikenal sebagai teolog akademis yang pendiam, tapi juga ‘God’s Rottweiler’ karena perannya di Roma sebagai penyaring ajaran dari para teolog lain yang berpotensi menyimpang dari ajaran resmi Katolik. Figurnya pun sempat menjadi ikon pop culture dalam film Netflix, The Two Popes, sebagai pribadi yang berjuang untuk bertumbuh dalam keterbukaan terhadap jenis paus– dan Gereja– yang secara naluriah tidak diinginkannya. Namun bagaimanapun, gambaran tersebut amat menggugah pikiran, tapi bukan fakta sejarah.
Dalam ceramahnya pada hari dia meninggalkan Kepausan (28 Februari 2013), dia mengutip sebuah teks Romano Guardini yang mengatakan bahwa Gereja “bukanlah sebuah institusi yang disusun dan dibangun dalam teori… tetapi sebuah realitas yang hidup… selalu menjadi,… mengalami perubahan …. Namun dalam sifatnya dia tetap sama dan hatinya adalah Kristus”. Baginya, Gereja akan beradaptasi dengan pengunduran dirinya, seperti dia diadaptasi dengan perubahan zaman sambil tetap setia pada sifatnya sebagai jantung Kristus yang hidup dan berdetak.
Dalam suatu dialog dengan anak-anak komuni pertama, seorang anak bernama Andrea bertanya kepadanya tentang apa yang dia ingat di hari komuni pertamanya:
…pada hari itu saya benar-benar dipenuhi sukacita, karena Yesus datang kepada saya dan saya menyadari bahwa tahap baru dalam hidup saya telah dimulai, saya berusia 9 tahun, dan sejak saat itu penting untuk tetap setia pada perjumpaan itu.. Saya berjanji kepada Tuhan sebaik mungkin: ‘Saya selalu ingin tinggal bersamaMu’, dan saya berdoa kepadanya, ‘tetapi yang terpenting, tetaplah bersama saya’.
Mengenai dirinya sendiri, Benediktus sadar bahwa dia berkekurangan, bahkan cacat, tetapi hubungannya dengan Kristus adalah fokus dari kehidupan yang tidak sempurna tersebut— karena dia berusaha untuk tetap setia kepada persahabatan seumur hidup dengan Yesus yang menandai awal ‘tahap baru’ dalam hidupnya di hari ia menerima komuni pertamanya. Kita tidak dapat memahami manusia ini tanpa menghargai sentralitas hubungannya dengan Kristus.
Ke Hadirat Tuhan Selamanya
Hal menarik lainnya dari artikel Korkery adalah bahwa Benediktus XVI sadar akan kematiannya. Tentu kesadaran tersebut bukan hanya karena dia berusia 95 tahun, tetapi memang Ratzinger adalah pribadi yang reflektif. Dia berjalan, dengan mata terbuka, menuju kematiannya. Suatu waktu dalam perbincangannya di tahun 2016 bersama Peter Seewald, tentang apakah dia takut mati –atau setidaknya, sekarat– dia menjawab:
Dalam arti tertentu, saya lakukan. Pertama-tama, ada ketakutan bahwa saya akan menjadi beban bagi orang-orang karena cacat dalam waktu lama.…. Aspek lainnya adalah bahwa, di tengah semua kepercayaan yang saya miliki bahwa Tuhan yang baik tidak dapat membuang saya, saya juga dapat, semakin dekat berdiri di depan wajah-Nya, semakin kuat merasakan betapa banyak kesalahan yang telah saya lakukan.
Kemudian Seewald bertanya: “Ketika kamu berdiri di hadapan Yang Mahakuasa, apa yang akan kamu katakan kepada-Nya?” “Saya akan meminta Dia untuk menunjukkan kelonggaran terhadap keadaan saya yang lusuh,” jawab Benediktus.
Jadi kita dapat berasumsi bahwa kematiannya tidak datang seperti pencuri di malam hari. Dia mengharapkan dan memikirkannya. Tetapi tidak hanya ada ketakutan pada gambaran berdiri di hadapan Tuhan. Ada juga harapan yang didasarkan pada iman yang, katanya, “selalu, secara kodrati, ada”. Ketika Seewald, dalam “percakapan terakhir”, tiba-tiba beralih jalur untuk bertanya kepadanya: “Tetapi orang beriman percaya bahwa “hidup yang kekal adalah kehidupan yang terpenuhi?”, Benediktus menjawab: “Oh ya, itu yang terpenting!” Keyakinan akan janji belas kasihan dan pengampunan Allah; sukacita yang luar biasa di hadirat Tuhan; kehidupan yang terpenuhi; kesejahteraan yang melampaui segala kemungkinan, dan di atas segalanya karunia untuk, sekali lagi, bersama keluarga dan teman sebagaimana kita berada di rumah”.
Dialog Abadi
Kunci iman Paus Benediktus kepada Tuhan selama hidupnya, dan pada saat kematiannya, adalah hubungan; dan baginya, hubungan yang sangat penting adalah hubungannya dengan Yesus Kristus. Berawal dari refleksi pengalaman komuni pertamanya hingga begitu banyak tulisannya berpusat pada Kristus. Itu tampak dalam aneka pidatonya, dalam bahasa apa pun yang dia gunakan, yang selalu dihiasi dengan kata-kata “der Herr”, “il Signore”, “Lord”.
Dimensi iman sebagai hubungan dengan Kristus ini sangat menonjol dalam paragraf satu ensiklik pertamanya, Deus caritas est (2005) hingga enam tahun kemudian, diamengumumkan Tahun Iman pada Oktober 2011, berjudul Porta fidei. Tema ini adalah kunci Ratzinger, kuncikehidupan dan identitasnya. Meskipun dia telah menulis banyak tentang cinta, iman tampaknya lebih menonjol karena dengan imanlah kasih manusia yang tidak sempurna disempurnakan: kita menyerahkan diri dalam iman kepada Kristus yang kasih-Nya sampai akhir (Yoh 13 :1) menebus kekurangan kita— menjadikan kasih cukup melalui iman.
Dalam pemikirannya selama bertahun-tahun tentang kehidupan setelah kematian dan keselamatan dunia, dia mengubah gagasan substansialis tentang “memiliki jiwa” ke dalam gagasan relasional yang vital tentang suatueksistensi manusia yang selalu berada dalam dekapan dialogis Tuhan. Dia melihat bagaimana gagasan tradisional tentang orang yang “memiliki jiwa spiritual” yang berarti “dikehendaki, dikenal dan dicintai oleh Tuhan” menjadikan manusa mampu untuk “menjadi makhluk yang dipanggil Tuhan untuk dialog abadi dan mampu mengenal Tuhan dan membalasnya”.
Dialog tersebut abadi karena ingatan akan Kristus, mitra dialog kita, yang tidak akan pernah gagal. Jadi keabadian kita itu “dialogis” dan ini adalah nama (keabadian dialogis) yang pertama kali diberikan oleh teolog Ratzinger pada 1967, dan sekali lagi pada 1977, tepat sebelum berpindah status sebagai profesor teologi Regensburg menjadi uskup agung Munich. Pada dasarnya itu berarti bahwa menjadi manusia, di atas segalanya, adalah berdialog dengan Tuhan. Inilah kunci kehidupan dan kematian sang profesor. Inilah mengapa tidak terlalu mengada-ada untuk memikirkan Benediktus XVI mendekati kematiannya dalam dialog dengan Tuhan.
Sekarang Tuhan Perkenankanlah Hamba-Mu Berpulang dalam Damai
Dalam studinya tentang wahyu, Ratzinger menjadi sadar bahwa panggilan Allah kepada umat manusia terjadi terutama di dalam Firman-Nya, di dalam Putra-Nya Yesus, Firman Allah yang disabdakan kepada dunia. Dan jika Tuhan, dalam Yesus Kristus, melangkah ke arah kita sebagai Sabda cinta ini, tidak ada yang perlu ditakuti karena, dalam kematian, kita melangkah ke arahnya. Tentang dialog abadinyadengan Kristus Ratzinger menulis:
Manusia tidak terlibat dalam dialog soliter dengan Tuhan. Dia tidak memasuki keabadian dengan Tuhan yang menjadi miliknya sendiri. Dialog Kristiani dengan Tuhan dimediasi oleh manusia lain dalam sejarah di mana Tuhan berbicara dengan manusia. Itu diungkapkan dalam bentuk “Kami” yang sesuai untuk anak-anak Allah. Hal tersebut terjadi di dalam ‘tubuh Kristus’ dalam persekutuan dengan Putra yang memungkinkan kita memanggil Allah ‘Bapa’. Seseorang dapat mengambil bagian dalam dialog ini hanya dengan menjadi seorang putra dengan sang Putra, dan ini harus berarti pada gilirannya menjadi satu dengan semua orang lain yang mencari Bapa (Ratzinger: Death and Eternal Life, 159).
Akhirnya, “Kristus sebagai pusat” adalah refrein yang dibunyikan di akhir refleksi ini. Tidak diragukan lagi, ketika akhir itu tiba, “Kristus sebagai pusat” memanggilnya: “Jangan takut, Aku ini…” (Wahyu 1:12-17) dan Benediktus melangkah maju ke dalam kegelapan yang terang, untuk melanjutkan dialognya dengan suara yang dikenalnya, dan dalam iman yang teguh dia menjawab: “Saya tidak takut; itu adalah kamu; Saya berada di rumah!” Dan doa Simeon, “Sekarang Tuhan, perkenankanlah hamba-Mu berpulang” sekali lagi dijawab oleh Tuhan yang baik dan penyayang.
Misionaris Claretian di Medan