ClaretPath.com – Dekonstruksi Identitas Agama di Indonesia dalam Pandangan Jacques Derrida
Realitas Agama di Indonesia
Situasi Indonesia saat ini tidak pernah lepas dari masalah soal agama. Perbincangan soal agama selalu menjadi berita hangat dalam masyarakat. Sistem sosial masyarakat yang dilatarbelakangi dengan paham mayoritas dan minoritas dalam agama dapat dikatakan menjadi cikal-bakal muncul persoalan mengenai isu agama tidak pernah selesai. Klaim berkuasa dengan istilah mayoritas-minoritas pun menjadi wacana yang tidak berujung. Permasalahan mengenai mayoritas-minoritas telah mencuat di berbagai belahan dunia ini misalkan yang terjadi di Amerika soal warna kulit dengan penduduk Afro-Amerika yang berkulit hitam, umat Mayoritas Budha dengan etnis Rohingya di Myanmar, dan yang terjadi di Indonesia pada tahun 2016 yang lalu mengenai kasus Ahok yang menista agama Islam.
Konteks yang diperlihatkan diatas menjadi salah satu bentuk nyata bahwa Indonesia secara de facto masih diperbudak soal agama. Konsep mengenai mayoritas-minoritas secara tidak langsung mengikat orang secara ketat dalam tradisi kepercayaan yang ia ikuti yakni agama. Segala gerak-gerik manusia sudah terikat dengan struktur sehingga manusia ibarat robot yang bergerak sesuai dengan sistem yang mengendalikannya. Contoh dalam pengalaman dialog yang kami lakukan kemarin muncul permasalahan, yakni orang kesulitan untuk membangun dialog iman karena dikekang oleh pandangan banyak orang dalam suatu agama apalagi mayoritas, yang dapat menimbulkan prasangka buruk terhadapnya sehingga mau tidak mau ia harus mengkuti suara terbanyak yakni tetap berada dalam zona agamanya. Persoalan ini muncul karena masih banyak orang lebih menganggap bahwa agama yang dia anut adalah ajaran yang paling benar berbeda dari ajaran agama yang lain.
Hal tersebut secara perlahan akan membawa orang pada sikap eksklusif. Sikap eksklusif itu terbentuk oleh anggapan adanya ancaman dari satu komunitas agama terhadap komunitas agama lainnya (adanya prasangka yang kuat antara komunitas agama). Hal itu semakin diperkuat oleh aktivitas keagamaan yang hanya meneguhkan keyakinan dan keimanan pemeluknya secara internal, namun di sisi lain, menipiskan ikatan dengan komunitas lainnya. Agama ditantang untuk mengembangkan pemahaman teologis yang baru yang mengacu pada pro-exsistence dengan menerima secara terbuka keunikan dari agama masing-masing. Dalam arti kita perlu tinggal dan ada bersama dalam pertemuan dialog agama-agama dan dengan setia membentuk komunio dalam masyarakat demi terciptanya bonum communae.[1]
Agama sumber masalah?
Keprihatinan soal agama yang terjadi dalam negeri ini adalah orang-orang telah teracuni oleh doktrinisasi agama yang membawa unsur ketuhanan demi kemanusiaan yang palsu yakni demi kepentingan kelompok tertentu. Namun, pada kenyatannya kehidupan manusia itu “diperkosa” dalam agama yang dibaluti kepentingan kerohanian semata. Salah satu yang menjadi ketakutan bila manusia itu menganggap dirinya sama seperti Tuhan (Autoteisme) Tak heran, agama tersebut penuh kedangkalan dan ketakutan. Para pemikir aktivis gemar menggempurnya. Melihat agama semacam itu sebagai tahayul yang tak berguna. Hasrat ditekan dengan ancaman palsu. Nafsu disangkal di ruang publik. Akhirnya, masyarakat hidup dalam kemunafikan.[1] Untuk melakukan dialog saja sulit jika dalam agama itu masih menganggap bahwa ajarannya paling benar dari yang lain. Sikap eksklusivisme ini perlu dibongkar dengan belati analisis dekonstruksi milik Jacques Derrida.
Salah yang menjadi masalah penting di negeri ini adalah membiarkan pemuka agama pemerkosa dibiarkan melanggar hukum. Menyebarkan ceramah yang meracuni pikiran masyarkat. Mereka cenderung diabaikan, ketika melanggar aturan. Akhirnya, mereka merasa kebal hukum. Negara dan penegak hukum bertanggung jawab atas terjadinya hal ini. Karena merasa kebal hukum, mereka menjadi sombong. Mereka bertindak seenaknya, termasuk memperkosa perempuan dan laki-laki yang seharusnya mereka bimbing. Mereka merasa menjadi Tuhan. Inilah yang membuat agama membusuk, dan akhirnya hancur dari dalam. Agama cenderung mendapat reaksi negatif bila terlalu banyak campur di dalam ruang publik.[2]
Derrida dan Dekonstruksi
Jacques Derrida adalah seornag pemikir postmodern. Ia lahir di El Biar, daerah pinggiran di Aljazair, benua Afrika utara pada tanggal 15 juli 1930. Ia memiliki darah orang Yahudi dan juga latar belakang keluarganya yang berdarah Prancis membuat dia memiliki pemikiran yang agresif dan kritis.[1]
Derrida menawarkan wacana pemikiran yang berbeda. Ia tidak mau menerima begitu saja ideliasme hierarkis. Baginya hierarkis melahirkan pembedaan terjadinya idea-materia, jiwa-badan, atas-bawah, barat-timur, perempuan-laki-laki, mayoritas-minoritas. Dan disini akan menciptakkan dominasi porsi yang berbeda dengan yang lain. Misalnya, mayoritas selalu menganggap dirinya paling kuat karena menang jumlah berbeda dengan minoritas yang selalu memiliki perasaan inferior. Derrida menawarkan cara pembacaan yang berbeda. Model hierarkis yang demikian perlu dibongkar, ditata ulang dan disajikan secara baru. Sikap pembacaan ulang seperti ini yang disebut Derrida sebagai Dekonstruksi.[2] Kata dekonstruksi sendiri dibangun dari kata de dan construire yang menunjukkan adanya upaya penataan ulang. Dan dekonstruksi itu sendiri lebih senang dengan pendekatan yang meminati kaum marginal dalam hal ini mereka yang menganggap dirinya minoritas.
Bila ditelisik lebih jauh definisi mayoritas-minoritas lebih mengarah kepada perasaan dan bukan definisi yang tepat dalam kehidupan masyarakat dalam hal ini agama. Banyaknya jumlah bukan menjadi tolok ukur melainkan orang yang memiliki kapital dibelakangnya yang membuat dia mampu menguasai yang lain bahkan sekalipun ia minoritas. Dekonstruksi Derrida dalam kaitannya dengan kontruksi masyarakat mayoritas-minoritas, perempuan-laki-laki berusaha untuk membawanya kembali ke pusat. Artinya, dekonstruksi Derrida berusaha untuk mengubah intensi yang sebelumnya berada diatas, yang dipusat, menuju yang di bawah, yang terpinggirkan, tidak ada superioritas. Kaitannya dengan agama, yang minoritas mulai didengar, ditarik kembali ke pusat, mendapat tempat untuk diperhatikan kembali di dalam masyarakat.[3]
Aspirasi utama dekonstruksi adalah kebebasan. Bebas untuk menolak kekuasaan tatanan kodrat, kemurnian identitas atau institusional yang memantapkan diri dengan legitimasi agama, bahkan kompetensi pengetahuan atau ketrampilan yang mengganggap diri merasa paling benar. Ketika penafsiran harus mengikuti aturan baku yang dijaga dan diawasi otoritas, dekonstruksi datang untuk mengusik sehingga membuat resah otoritas itu. Seperti yang diuraikan diatas dekonstruksi adalah teknik menggeser ke pusat. Menghilangkan perasaan inferior dan menempati posisi yang sederajat. Melalui dekontruksi Derrida mampu melampaui minoritas, artinya dari kedua kutub mayoritas-minoritas, tidak ada yang menggangap agamanya paling benar, tidak ada yang lebih berkuasa, dominan atau yang dianggap paling istimewa. Dekonstruksi Derrida, secara tidak langsung dapat membuka ruang dialog. Bagi penulis jalan membuka dialog antar umat beragama adalah salah satu statement yang kurang karena hal itu akan sulit dikomunikasikan bahwasannya setiap agama memiliki doktrinitas yang ketat.
Keutamaan Dialog
Maka, jalan yang dapat diambil adalah dengan dialog antar umat beriman yakni, berbagi pengalaman hidup bersama dengan yang Ilahi. Mgr I. Suharyo dalam bukunya yang berjudul The Catholic Way memberikan sumbangan yang amat berarti soal membangun dialog. Baginya dialog memiliki empat usaha yaitu: dialog kehidupan, dialog karya, dialog pakar, dan dialog pengalaman religius. Dialog kehidupan, lebih menyangkut hubungan sosial antara penganut agama-agama yang berbeda misalnya dalam keluarga, masyarakat, pendidikkan, dan politik. Dialog karya, menitikberatkan pada Kerjasama dengan penganut agama lain demi tujuan sosial, ekonomi, politik, dan kemanusiaan biasanya ini dilakukan dalam organisasi nasional dan internasional dalam negara maupun di luar negara. Dialog pakar, sangat menekankan keahlian yang sifat memperkaya warisan religius agama masing-masing. Terakhir adalah dengan melakukan dialog pengalaman religius yakni bagaimana para penganut agama yang berbeda mampu membangun dan bekerjasama berbagi pengalaman akan doa, meditasi, ungkapan iman dalam mencari Yang Ilahi.[1]
Ternyata, meski agama menekankan perdamaian dan hormat akan martabat manusia, sebagai sistem ajaran, agama masih membuka peluang penafsiran yang mendukung bentuk-bentuk kekerasan. Para pemimpin agama, teolog dan guru agama belum sampai pada titik penegasan bahwa apapun pembenarannya bila merendahkan martabat manusia, suatu penafsiran harus dipertanyakan keabsahannya. Ketidaktegasan ini memudahkan orang mencari pembenaran kekerasan melalui agama. Mayoritas akan selalu menganggap dirinya kuat dan yang minoritas lemah.[2]Sehingga, cukup menyedihkan ketika agama dikaitkan dengan fenomena kekerasan. Atas nama agama orang bisa semena-mena memperlakukan orang lain. Agama dipakai untuk melakukan diskriminasi, dijadikan alasan tindak kekerasan, bahkan sampai pada pembunuhan.
Kesimpulan
Dekonstruksi Derrida secara perlahan membawa orang masuk dalam budaya persahabatn yang kuat. Pembedaan kekhasan dari superioritas ini dilandaskan pada pemahaman bahwa kepenuhan Tuhan akan lebih baik terungkap oleh pluralitas agama-agama dari pada hanya oleh satu agama. Raimundi Panikhar dengan memperkenalkan istilah Passing Over artinya berani keluar dari identitasnya dengan melihat yang lain sambil menjaga kebersatuan identitasnya dan memperkayanya. Melampaui pemahaman model inklusivis: menerima adanya agama-agama yg berbeda karena memang sungguh berbeda karena setiap agama memiliki doktrinnya masing-masing, tetapi hal itu bukan menjadi jaminan kebenaran yang mutlak dan bukan dianggap benar hanya sejauh sesuai dengan kategori-kategori “agama saya”.
Levinas sendiri dalam pemikirannya selalui menghargai yang lain Perjumpaan dengan yang lain merupakan bentuk hubungan yang ditandai kepedulian dan tanpa kepentingan. Hubungan ini menyapa seseorang untuk bertanggungjawab terhadap yang lain, tanpa menuntut “yang lain” melakukan yang sama. Tiada tuntutan timbal-balik, tiada pula pengobyekan atau dominasi. Yang lain adalah mutlak lain, yang sama sekali lepas dari semua bentuk cakupan yang beranjak dari aku karena aku tidak dapat menamai dengan memakai identitas seragam.[1] Perbedaan justru menunjukkan betapa kaya kepenuhan Tuhan.
[1] Bab III Dominasi Agama: Dari Imajiner Sosial Ke Diskrimnasi dan Kekerasan, dari bahan ajar Haryatmoko untuk Mahasiswa Semester V, Fakultas Teologi Universitas Sanatha Dharma, hal 100.
[1] Mgr Ignatius Suharyo, The Catholic Way, Kanisius, Yogyakarta, 2009, hal 83-85.
[2] Bab III Dominasi Agama: Dari Imajiner Sosial Ke Diskrimnasi dan Kekerasan, dari bahan ajar Haryatmoko untuk Mahasiswa Semester V, Fakultas Teologi Universitas Sanatha Dharma, hal 74.
[1] David Mikicks, Who was Jacques Derrida?, Yale Univesity Press, New Haven & London, 2009, hal 13
[2] A Sumarwan, Membongkar yang lama, Menenun yang baru”, dalam basis, No. 11-12, Tahun ke-54, November-Desember 2005, hal 122.
[3] Robertus Kristianto Naku, Dekonstruksi: Membongkar Prinsip Mayoritas-Minoritas, Fakultas Teologi Universitas Sanatha Dharma Yogyakarta,Jurnal: Fenomena Vol XII/No.01/2016, hal 6.
[1]Reza A.A Wattimena, Tentang Agama Pemerkosa, Diakses dari, https://rumahfilsafat.com/2022/07/10/tentang-agama-pemerkosa/, Pada pukul 21:21 Tanggal 10/12/2022.
[2] Reza A.A Wattimena, Tentang Agama Pemerkosa, Diakses dari, https://rumahfilsafat.com/2022/07/10/tentang-agama-pemerkosa/, Pada pukul 21:30 Tanggal 10/12/2022.
[1] Valentinus Ritan, Jati Diri Manusia Beragama-Bernegara: Sebuah Paradoks di Tengah Teralienasikannya Fenomen Cinta, Fenomena: Jurnal ilmiah Mahasiswa Teologi Sanata Dharma, Vol. VIII/No. 01/ 2011, hal 52
ClaretPath.Com adalah ruang pengembangan bakat menulis dan media kerasulan, terinspirasi dari Santo Antonius Maria Claret, Pelindung Pers Katolik.