ClaretPath.com – Dari Mana Asal Kita dan ke Mana Kita Akan Pergi?
Tahun 2017 lalu penulis novel fenomenal The Davinci Code, Dan Brown, kembali merilis novel terbarunya Origin. Novel ini best seller terakhir yang dilakoni Profesor Robert Langdon. Sama dengan novel-novel Brown sebelumnya, Origin menuai kontroversi. Alurnya fluaktif dan susah menebaknya. Negara Spanyol daerah Bilbao, Barcelona, dan Madrid terpilih menjadi pendukung topografis novel Origin. Di sana Gereja dan Kerajaan terlibat menyempurnakan kontroversi.
Kontravesi Novel Origin
Edmond Kirsch miliarder dan ilmuwan komputer pencetus kontroversi dalam Origin mengundang Langdon untuk menghadiri acara rilis penemuan miliknya. Langdon sebagai mantan Dosen Kirsch di Havard menghargai permintaan itu. Di Museum Guggenheim Spanyol, acara pelaunchingan diselenggarakan. Sebelum itu, Kirsch menemui tiga tokoh pemimpin agama yang baru saja menghadiri konferensi di Spanyol. Uskup Veldespino perwakilan Katolik, Rabi Koves perwakilan agama Yahudi, dan cendekiawan Islam Syed al-Fadl.
Walaupun tidak beragama, respek Kirsch terhadap pemimpin-pemimpin agama sangat tinggi. Tujuannya terlihat sangat mulia tetapi ada maksud lain. Kirsch ingin agar setelah pengumuman penemuannya, para pemimpin agama tidak terkejut, tetapi menerima secara lapang dada. Meskipun di sisi lain, hal itu sangat mustahil. Memang di luar dugaan, setelah Kirsch memberi rekaman video penemuannya, muncul segala kepanikan. Video itu memantik konspirasi. Panjang lebar video itu menjelaskan pertarungan agama dan sains yang sangat pelik. Manusia yang beragama mungkin saja akan berbondong-bondong meninggalkan iman. Arus kemurtadan akan bergelora karena “tuhan” baru segera muncul.
Kerisauan Materi Origin
Valdespino sebagai pemimpin agama Katolik begitu gelisah. Kalau saja semua umat tahu tentang isi video, dan juga menonton pengumuman penemuan Kirsch, tamatlah riwayat Gereja dunia. Begitu juga kedua kolegannya Rabi Koves dan Syed al-Fadl. Beratnya materi yang dipaparkan Kirsch juga memungkinkan efek yang dihasilkan sangat besar. Kirsch meneliti dengan teori fisika mengenai asal dan kemana manusia akan pergi setelah mati. Pembuktiannya sangat presisi, ilmiah, dan terlihat masuk akal. Ia akan meruntuhkan kepercayaan semua agama yang sudah paten bahwa asal dan tujuan hidup manusia adalah Tuhan.
Di Guggenheim, Langdon hadir. Ia ditemani oleh Ambrada Vidal tunangan pangeran Spanyol yang baru saja dilamar dan ditonton publik melalui televisi. Ambrada bekerja sebagai kurator museum Guggenheim. Ia menguasai berbagai aktivitas museum itu termasuk menyelenggarakan pengumuman penemuan Kirsch. Ketika Ambrada sibuk, Langdon menyisiri semua tempat di dalam museum. Ia dipandu oleh komputer pintar ciptaan Kirsch yang diberi nama Winston yang diadopsi dari nama seorang penyair terkenal, Sir Winston Leonard Spencer Churchill (1874-1965). “Peranannya sebagai pakar strategi, orator, diplomat, dan politisi terkemuka menjadikan Churchill salah satu tokoh paling berpengaruh di dunia.”[1] Melanggenggkan nama pria itu, Kirsch menamai komputer penemuannya Winston.
Winston mengantar Langdon menemui Kirsch di ruangannya. Mereka bertemu. Kirsch akan menjadikan Langdon sebagai tokoh yang istimewa di malam presentasi penemuaannya. Saat tiba untuk presentasi, media-media di seluruh dunia menyoroti Guggenheim. Dari mana asal kita dan kemana kita akan pergi adalah semboyan presentasi Kirsch. Kalimat sederhana itu yang menjadi konspirasi bertahun-tahun. Akan tetapi, Kirsch segera menjawab dengan analisis fisikanya. Serempak di luar sana para pemimpin agama dan umatnya gemetar kalau saja pembuktian Kirsch itu benar.
Naas, di luar dugaan, baru saja Kirsch ingin menyampaikan penemuannya ke seluruh dunia, sebuah peluru melintas dan menembus kepalanya. Ia ditembak orang tak dikenal. Kirsch mati. Presentasi penemuannya gagal untuk ditayangkan. Guggenheim menjadi panggung kepanikan. Langdon kecipratan kepanikan itu. Hanya ada keheranan, linglung, kata-kata berat untuk diucapkan, seperti sedang tersedak di tenggorokan. Kaget bercampur takut dan bingung. seperti emosi tak teridentifikasi. Baru saja Langdon ingin menikmati presentasi itu, peristiwa malah kacau. Tersebar berita bahwa yang melakukan ini adalah pihak Gereja dan Kerajaan Spanyol yang tidak mau presentasi itu dipublikasikan. Alasannya, negara dan Gereja Katolik Spanyol takut umatnya murtad dan tidak percaya pada agama lagi.
Cara untuk bisa menayangkan presentasi itu ada di tangan Langdon. Ia dan Ambarada Vidal mencari kode 47 dijit untuk membuka kunci komputer ciptaan Kirsch. Berbagai usaha mereka lakukan. Rintangan dan tantangan dilewati dengan susah payah. Pencarian mereka melintasi beberapa kota seperti Bilbao, Barelona dan juga Madrid. Ambarada Vidal mencari dengan beban kengerian yang ia rasakan. Kalau saja fakta kerajaan terlibat dalam pembunuhan Kirsch, ia tidak akan memaafkan kerajaan, termasuk tunangannya, pangeran Julian.
Setelah beberapa lama mencari, sandi berjumlah 47 tujuh digit ditemukan dan dipecahkaan Langdon di Gereja Sagrada Familia Barcelona. Ikon kota itu adalah tempat di mana Kirsch menyimpan sebuah buku berisi sandi dalam bahasa Inggris, the dark religions are departed et sweet science reigns. Sandi itu dibawa ke tempat penyimpanan komputer yang dirakit Kirsch. Uji coba berhasil dan tayangan penemuan Kirch ditonton oleh ratusan juta jiwa di seluruh dunia. Kini Kirsch hadir dengan sebuah video menyapa manusia seluruh dunia. Kirsch menjelaskan asal mula manusia dengan menggabungkan sains dan teknologi. Menurutnya manusia tercipta karena adanya reaksi kimia lalu berevolusi. Akan tetapi, ia tidak terlalu naif. Ia masih menghargai seluruh umat beragama di dunia bahwa apa yang ia presentasikan bukanlah kebenaran mutlak.
Kirsch juga memamparkan ke mana manusia akan pergi. Ilmu fisikanya menjelaskan manusia sedang berevolusi yaitu menjadi spesies hybrid di mana teknologi dan biologi bercampur. Ini mirip dengan sinkretisme, gabungan sebuah agama menjadi agama baru. Sistem nanobot yang dicampakaan ke dalam tubuh manusia menjadi tanda ditanggalkannya entitas sebagai homo sapiens biasa. Otomatis berbagai sektor kehidupan manusia akan berubah. Mulai dari budaya, karakter, dan cara berpikir, serta agama akan mengalami perubahan signifikan. Jutaan orang yang menonton tayangan itu terkesima. Kemugkinan besar ada perubahan yang terjadi setelah Kirsch memaparkan video itu.
Setelah memaparkan penemuannya secara komprehensif, ia berdoa bak seorang beragama sementara selama ini orang mengenalnya sebagai ateis tulen lalu perlahan hilang dari layar presentasi. Setidaknya aksi itu menyulut aneka pertanyaan. Siapa yang benar dan siapa yang salah mengenai asal dan akhir hidup manusia? Ini menjadi suatu pertanyaan utama. Ambrada Vidal yang tergolong ateis menanyakan Langdon hal yang sama.
Langdon menjawab dengan keahliannya melakukan permainan simbol. Ia menanyakan hasil penjumlahan I+XI=IX kepada Ambrada Vidal. Dengan polos Ambrada menjawab satu ditambah sebelas sama dengan sembilan. Salah. Cara menjawab pertanyaan ini harus dibaca secara terbalik menjadi XI=X+I, sebelas sama dengan sepuluh ditambah satu. Begitulah tentang sebuah kebenaran. Kepastian terhadap sebuah kebenaran tidak bisa dilihat satu arah saja, tetapi dari berbagai arah. Sains dan agama pun demikian, masing-masing mempunyai cara pandang dan kebenaran tersendiri terhadap suatu realitas.
Edmond Kirsch vs Thomas Nagel
Kirsch dalam Origin berjibaku mengungkapkan penemuannya. Ia mengafirmasi terjadinya alam semesta tidak perlu intervensi Tuhan. Agaknya banyak orang yang mengamini pernyataan ini. Beda halnya dengan Thomas Nagel Profesor Filsafat di New York University. Ia meruntuhkan keyakinan itu. Nagel menyangsikan hukum fisika dapat menjelaskan kompleksitas alam semesta. Nagel tidak bertujuan membela keyakian-keyakinan agama. Justru ia masih mempertanyaan kedua sudut pandang itu, entah secara teologis entah fisika.
Baginya penjelasan teologis juga banyak yang salah. “Pertama penjelasan “teologis” yang ditolak Nagel juga ditolak oleh mainstream filsafat Katolik (tetapi kena pada faham-faham seperti intelligent design). Tuhan bukan a god of gaps, suatu deus ex machina (mesin di belakang panggung yang membuat kesan-kesan seakan-akan Tuhan sendiri yang berintervensi dalam suatu sandiwara). Sejak Thomas Aquinas (1215- 1274) ada perbedaan antara causa prima (sebab dasar) dan causae secundae (sebab-sebab lapisan kedua). Yang pertama adalah Allah yang sebagai pengada mutlak dan pencipta terus menerus mendasari ciptaan (creatio continua). Tetapi Allah menciptakan alam raya dengan kemampuan-kemampuannya sendiri. Dan itu berarti bahwa segenap kejadian di alam ciptaan mesti ada sebab alami juga. Munculnya kesadaran dan nalar mesti ada sebab alamiah juga (yang tidak sama dengan sebab alami-fisikalis)”[2].
Yang kedua bagi Nagel aliran tradisi Thomistik menawarkan suatu kerangka pikir yang tidak terjerumus pada konsepsi deus ex machina. Karena Allah adalah causa prima, maka Ia menciptakan alam raya dengan sebuah tujuan. Bagi orang Kisten tujuan itu adalah Allah ingin berbagi kasih-Nya kepada manusia.
“Tujuan itu hakiki bagi alam raya karena hanya demi tujuan itu alam raya diciptakan. Maka, meskipun di alam raya, dilihat dari kemampuan-kemampuan fisikalis dan kimiawinya – ada kemungkinan-kemungkinan perkembangan hampir tak terhingga-munculnya manusia di bumi hanya satu di antara lebih dari 1.010.000.000 kemungkinan perkembangan alam raya yang secara statistik sama probabel (jadi tidak probabel), – namun, karena memunculkan manusia sebagai partner tercinta Tuhan, causa prima, adalah hakekat alam raya (alam raya diciptakan hanya demi untuk memunculkan manusia), maka dapat dimengerti mengapa dari lebih dari 1.010.000.000 kemungkinan itu alam raya secara konsisten selalu “memilih” kemungkinan yang satu yang memajukannya ke arah tujuannya, manusia”[3].
Jadi, memang begitu banyak teori mengenai terbentuknya alam semesta. Masing-masing berdiri di atas keyakinan sendiri. Apakah harus fanatik? Tentu tidak. Manusia sepantasnya terbuka terhadap berbagai pandangan yang berbeda ini walaupun tidak meyakininya. Perbedaan pandangan itu juga menyempurnakan bahwa manusia hidup di tengah misteri. Di saat yang sama Origin dan Nagel menguak misteri yang sama. Berhadapan dengan dengan novel Dan Brown juga tidak harus gelisah. Teka-teki di dalam novel itu menguji dan mengumpan manusia untuk yakin dari mana ia harus berdiri di hadapan misteri yang tidak terpahami.
Dari Mana Asal Kita dan Kemana Kita Akan Pergi?
Dari Mana Asal Kita dan Kemana Kita Akan Pergi?
Dari Mana Asal Kita dan Kemana Kita Akan Pergi?
Dari Mana Asal Kita dan Kemana Kita Akan Pergi?
Dari Mana Asal Kita dan Kemana Kita Akan Pergi?
[1] http://p2k.unkris.ac.id/id1/2-3065-2962/Churchill_31300_p2k-unkris.html dikutip pada selasa, 22/08/22, pikul 21: 56
[2] Magnis Suseno., Jurnal Teologi, Book Review: Origin; Mind and Cosmos, edisi 09.02 (2020), hal. 209
[3] Magnis Suseno, Jurnal Teologi, hal. 210.
Misionaris Claretian yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.