Claret: Missionary of Heterotopia of The Poor

Penaclaret.comBerjalan dan terus berjalan”. Barangkali sudah menjadi bagian dari hidup seorang Santo Antonius Maria Claret. Postur tubuhnya tidak seperti kebanyakan orang Eropa yang tinggi-gagah dan ramping. Tetapi dengan postur tubuh yang “gempul”, tidak tinggi, dia tidak pernah berhenti melangkahkan kedua kakinya. Berjalan dan terus berjalan”.

Contoh nyatanya adalah ketika ia ingin ke Roma. Sebelumnya, ia harus memacu kaki dengan rute panjang Castellar de Nunch, Tosas, Font del Picaso, Osseja, Ollete, Prades, Perpignan, Narbone, Montpellier, Nimes, dan Marselilles, lalu dengan Tancrede menuju Civitavecchia, sampailah di kota Roma (Auto. 122).

Kendati hanya dengan berjalan kaki, Claret dapat menulis narasi indah, yakni membuat percakapan-percakapan persahabatan dengan orang-orang yang ditemuinya (Auti 126-128), mengalami bantuan baik di atas kapal (Auto. 129-136). Masih ada banyak lagi cerita tentang Claret sebagai pejalan kaki yang tak kenal lelah sewaktu bermisi. Berjalan kaki adalah transportasi misi.

Menariknya, berjalan kaki Claret tidak menuju tempat-tempat megah, mewah, indah dan penuh kenyamanan. Dalam bahasa yang viral sejak Paus Fransiskus bertahta, Claret berani keluar dari ‘zona nyaman’ dan lalu menciptakan sebuah perjumpaan wajah ke wajah.

Misionaris heterotopis. Saya ingin menamainya. Sekilas tentang istilah heterotopis. Istilah ini berasal dari seorang filsuf Prancis, Michel Foucault. Heterotopis berarti tempat-tempat yang tak lazim dan berada di luar jangkauan ruang hidup keseharian orang ramai (A. Bagus Laksana, Basis, 11).

Baca juga :  Kemenyan Misionaris Spanyol

Tempat-tempat heterotopis ini, cara perlakuannya sangat berbeda dengan tempat-tempat non-heterotopis. Di dalamnya, makna hidup mengalami keberlainan. Ada tempat-tempat yang memang berisiorang-orang yang memiliki tujuan yang sama dan khusus, seperti biara.

Ada pula tempat yang terdaftar sebagai masyarakan ekonomi menengah ke atas, seperti perumahan dan apartemen. Dan ada pula tempat yang dominan berisi masyarakat ekonomi menengah ke bawah, seperti Kampung Nelayan, Cilincing. Semua tempat bisa menjadi heterotopis, karena pengertian heterotopia memang didasarkan pada ‘fungsi’ sebuah tempat dalam hubungannya dengan lingkungan sekitar (A. Bagus Laksana, 12).

Dari kacamata Claret, saya melihat ada dua tempat heterotopia, yakni heterotopia of the rich dan heterotopia of the poor. Heterotopia of the rich berarti tempat-tempat yang berisi masyarakat kaya raya, seperti di lingkungan istana Madrid. Di sana, ia masuk dalam keluarga kerajaan dan menjadi bagian di dalamnya. Ia dapat menikmati apa saja yang ia mau.

Akan tetapi, Claret menganggap dirinya bagaikan burung dalam sangkar yang selalu mencari jalan keluar untuk bisa bebas (Auto. 621). Hidup di paroki juga dianggap sebagai heterotopia of the rich (Auto. 120). Pertanda bahwa Claret tidak suka dan tidak bahagia dengan lingkungan heterotopia of the rich.

Lalu bagaimana dengan heterotopia of the poor? Inilah yang menjadi destinasi evangelisasi Claret. Dia tanpa ragu menggunakan transportasi kakinya menuju heterotopia of the poor.  Kebalikan dari heterotopia of the rich, di heterotopia of the poor Claret bagaikan burung yang bahagia bernyanyi dan menari ke sana kemari di tengah hutan luas.

Baca juga :  Misionaris itu Pemabuk atau Pesulap?

Lihat, betapa bahagianya Claret ketika mengadakan misi umat di Paroki Villadrau. Claret sendiri tidak hanya bermisi seputar perayaan sakramental semata, tetapi juga mengadakan misi non-sakramental, seperti menjadi tabib (Auto. 171). Hemat saya, gerakan kaki Claret dalam melangkah karena ia ada untuk heterotopia of the poor.

Setelah dari Paroki Villadrau (ia tidak puas hanya di paroki itu), ia meminta untuk bermisi di tempat lain. Pasti bahwa Claret menuju pemukiman-pemukiman kumuh, tempat di mana orang selalu disingkirkan dari berbagai aspek dan tidak diperhatikan oleh banyak orang.

Claret tak sedikitpun canggung bila harus berjalan kaki ber-mil-mil jauhnya. Saya merasa yakin, bila jarak Barcelona dengan Kota Roma berdekatan seperti jarak Barcelona-Marseilles, Claret tentu berani melangkahkan kaki transportasinya ke sana. Sulit membayangkan bila sebagian dari hidupnya ia habiskan hanya dengan berjalan kaki.

Baca juga :  Hanya Besar Omong

Ketika menjadi uskup, kebiasaan baik ini tidak serta merta ia hilangkan. Kendatipun dalam suatu kesempatan, Claret pernah tidak dianggap sebagai misionaris dambaan umat karena bermisi menggunakan kuda (waktu itu ia naik kuda karena terpaksa, setelah diajak beberapa kali). Itu karena umat lebih percaya Claret adalah misionaris perjalan kaki, bukan misionaris berkuda.

Berjalan kaki ke heterotopia of the poor membuatnya semakin dikenal orang. Claret dikenal karena ia berjalan kaki. Itu bukan karena suatu paksaan dari pihak manapun, tetapi itu bagian dari misi. Berjalan kaki adalah instrumen misi.

Dengan instrumen itu, yang merasakan sukacita Injil bukan hanya orang-orang di tempat tujuan misi, tetapi juga orang-orang yang ia temui di sepanjang perjalanannya. Claret tidak keberatan untuk membangun percakapan-percakapan yang baik dan kudus dengan orang yang ia temui. Dengan begitu Yesus semakin dikenal, dicintai, dilayani dan dipuji oleh semua orang.