ClaretPath.com – Claret dan Duka Tanah Cuba
Hari itu cukup cerah, tetapi tidak dengan senyum ceriah di Santiago. Kuda dan binatang lain sepertinya menjadi yang pertama merasakan sesuatu yang dahsyat akan terjadi. Semua ayam dan burung mulai berkotek dan mengebaskan sayap diikuti suara gemuruh di bawah tanah.
Hari itu tanggal 20 Agustus 1852 dengan waktu yang tak terkira tertutup rasa takut dan panik di sepanjang jalanan kota. Baru saja, gempa bumi datang dan menggoyangkan semua manusia dan bangunan di kota. Tidak terkecuali bangunan milik Keuskupan.
Saat itu, Claret sedang berada di Bayamo dan terpaksa harus kembali ke Santiago karena banyak orang mencarinya. Terkejut? Tentu saja.
Setibanya di Santiago, Claret melihat banyak bangunan yang sudah menjadi puing-puing tak berarti. Teriakan histeris orang-orang masih terdengar; meratap pada bangunan tempat mereka menetap yang telah menjadi rongsokan. Semua umat di sana sangat ketakutan. Santiago seakan-akan diterpa ombak yang mengamuk tak berkesudahan.
Ampun!!! Teriakan itu kembali terdengar ketika seorang umat berteriak menyusul ledakan yang sangat dahsyat. Tidak lama setelahnya, lautan manusia kembali terlihat berlari menuju tanah lapang, menghindari atap rumah yang tidak lagi memberi kenyamanan. Bagaimana hendak merasa marah ketika semuanya telah terjadi? Semuanya hanya mampu dijelaskan dengan deraian air mata.
Mereka saling memandang dan tidak ada yang merasa begitu kuat setelah kehancuran yang sungguh dahsyat itu. Claret tak lepas pandang. Setelah rumah umat hancur dihantam gempa, kini matanya tertuju pada istana Uskup yang rusak dan bangunan Gereja yang bernasib serupa. Meski sudah diterpa badai, iman para kawanan domba tidak turut mereda seturut gempa yang sudah tidak terasa lagi.
Mereka menjadikan tanah lapang yang ada sebagai tempat untuk merayakan misa dan menerima sakramen-sakramen. Sungguh bangunan yang sangat kokoh. Gempa berlangsung dari tanggal 20 Agustus sampai akhir Desember dengan jeda yang terlampau singkat.
Belum saja duka akibat gempa usai, Keuskupan Kuba dihantam lagi oleh wabah kolera. Dalam waktu kurang dari dua hari banyak umat terkapar tak bernyawa di lorong-lorong kota dan perkampungan.
Menariknya, dalam menyikapi bencana gempa dan wabah kolera yang terjadi silih berganti di Keuskupannya, Claret berkisah kepada umat; “Allah telah memperlakukan mereka seperti seorang ibu yang mempunyai seorang anak yang malas bangun. Ibu menggoyangkan tempat tidur untuk membangunkan dia. Dan jika ia tidak berhasil, ia menyentuh badannya. Itulah yang dilakukan Allah dengan anak-anak-Nya yang tertidur dalam dosa itu”.
Akibatnya, banyak umat yang merasa diri berdosa menginginkan sakramen penguatan. Tidak sedikit dari mereka yang ingin mengaku dosa dan bertobat. “Terberkatilah dan terpujilah kebaikan hati dan belaskasih Allah, Bapa kita yang baik penuh kebaikan dan penghiburan”, ucap Claret dalam doa.
Misi Claret
Claret berkeliling bersama para imamnya untuk mendengar pengakuan dari mereka yang tampak tak berdaya dan terkapar lemas. Santo bertubuh kecil itu masih sempat-sempatnya memperhatikan kebutuhan rohani umatnya. Ia juga mencari obat-obatan untuk menyembuhkan domba-dombanya yang masih bisa tertolong.
Ia dan para imamnya menghadirkan harapan dan kasih di tengah wabah melanda. Kekosongan dan kesepian dalam diri umat mampu dihibur dengan kunjungan Claret bersama para imamnya. Mereka tidak takut terjangkit wabah ganas itu. Bahkan salah seorang imam yang melayani para korban, Romo Paroki El Cobre harus terjangkit wabah dan pada akhirnya meninggal dunia. Ia adalah korban cinta kasih, ucap sang Santo.
Mahasiswa fakultas Filsafat Keilahian Universitas Sanata Dharma. Pencinta Alam dan pegiat internet