Cintaku Melampaui Dosamu | Cerpen

Oleh Aldo de Deus

Picture by Pinterest

ClaretPath.com – Membiarkan semua terjadi dan melebur dalam waktu. Ini kebiasaanku. Mungkin tidak penting, ini hanya sederet kata untuk rasa syukurku, tidak melebih-lebihkan. Aku hanya ingin menikmati apa adanya. Hematku, ketika rasa cemas dan keluh menghampir, aku semakin kerdil. Aku mudah melupakan syukur. Sekali lagi ini tidak melebih-lebihkan. Aku hanya mau bersyukur dengan semuanya. Prinsip inilah yang membuat aku selalu ditangguhkan hingga detik ini. Melalui prinsip ini, aku serasa diberi tongkat untuk terus berdiri meski kusadari kisah cintaku ini tak seindah yang pernah kubayangkan. Lagi-lagi, hanya dengan berpegang pada prinsip ini, aku masih kuat untuk berdiri hingga detik ini, hingga dewasa ini. Hehehe sok-sok amat sih… wkwkwk.

***

“Salam kenal kak, aku Aldo” sapaku dengan segala kepercayaan diri.

“Aku, Mora”, sahutnya dengan malu-malu.

Sebuah pertemuan yang tak terduga antara aku dan dia di sebuah Warkop, tempatku selalu berbagi cerita dengan secangkir kopi. Setelah menatap Mora, aku teringat akan pepatah religius kuno, “Ciptaannya saja sudah seelok ini, apalagi pencipta-Nya”.

Pertemuan sedetik, tetapi membekas hingga berdetik-detik. Ini adalah pertemuan yang mengesankan meski rasa ini mulanya tak terlalu mempedulikannya. Pikirku hanya ingin menyapa saja. Hanya saja candu tanya terus bergelora. Sederet kata terus menggurui pikiranku. Tatapan sedetik diantara aku dan dia mirip dengan tatapan seorang remaja saat jatuh cinta. Itu yang sedang aku alami. Tak salah jika candu tanya terus berhasrat untuk mengajaknya bercakap-cakap sebentar dengan dia yang kukenal, Mora.

“Mora lagi ngapain di sini?” tanyaku.

“Aku sedang menunggu jemputan”, jawabnya.

“Ohh, ada yang jemput ya?”

“Ya, kak”, sahutnya sambil tersenyum.

Aku tidak tahu, pertanyaan apalagi yang hendak kuungkapkan kepada Mora. Lagian, wajah yang cantik dan mata nan indah kian membeku nalarku. Ahw, aku terasa dihipnotis olehnya. Kata-kataku terasa mengendap di hati saja. Tak mampu aku mengungkapkan sederet kata yang menggelora di hati ini. Yang ada hanya teriak bisu.

Beberapa menit kemudian gadis yang selalu ku puja-puji sedari tadi dijemput oleh seorang lelaki tua. Raut wajah pria itu begitu menakutkan. Ya, wajahnya begitu beringas, tampak seperti penjahat. Aku menjadi gugup di depan lelaki tua itu hingga sepatah katapun tak sempat kuucap kepada Mora yang berlalu begitu saja dari hadapanku. Apalagi aku harus meminta salah satu akun media sosial Mora, sangat tidak memungkinkan. Ya sudahlah mungkin masih ada waktu, sekarang aku harus kembali karena adikku pasti menungguku seorang diri di rumah.

Baca juga :  Pengantar Pesanan || Sastra

***

Di sore itu, aku bersama adikku berjalan mengelilingi kota. Hal ini sudah menjadi kebiasaan kami. Kaki ini hanya ingin berjejak pada bekas yang pernah ada. Hanya sekadar bernostalgia mengingat momen saat masih bersama ayah dan ibu. Aku dan adikku sadar bahwa semua tinggal memori yang terlukis indah dalam galeri kami untuk selamanya. Kini mereka telah tiada. Yang tersisa hanyalah jejak kisah yang pernah dipijak bersama. Dan jejak-jejak itulah yang tanpa hari terus dipijaki.

Sebagaimana yang selalu kami lakukan, kami meluangkan waktu sejenak untuk bermain di pantai, sekadar menikmati senja bersama berpulu-puluh couple yang sementara bermesraan di pinggiran laut. Dari kejauhan aku melihat seorang perempuan duduk sendiri di atas serpihan tembok peninggalan perang dunia kedua. Walau aku tidak mengenalnya tetapi candu tanya terus  menuntunku ke arah gadisku seolah-olah aku mengenalnya. Hanya bermodalkan firasat saja.  Suara hati pun mendesak untuk menyuruh pergi ke arah tersebut.

Setelah mendekat aku terkejut, dia adalah Mora, gadis yang pernah kukenal di kedai kopi.

“Selamat sore Mora”, sapaku dengan kikuk.

“Selamat sore juga kak”, sahutnya sembari malu.

Raut wajah itu, terlihat jelas pipinya memerah. Mungkinkah dia malu denganku karena kejadian waktu itu? Aku tidak peduli lagi dengan semua peristiwa itu. Aku hanya ingin bercakap dengannya kembali. Pikiranku mulai diguyuri berbagai pertanyaan. Candu tanya terus mendiktekanku dalam sunyi. Aku hanya heran saja, masih adakah perjumpaan yang tak terduga ini kembali. Aku hanya tidak menyangka bisa secepat ini Sang Khalik mempertemukan kami kembali. Keasyikan berbicara dalam diam tanpa aku sadari adikku sedang mengamatiku dengan wajah polosnya.

“Wah, kak Aldo ada janjian ya? kenapa ngga kasih tahu aku?” suara keluh-kesah itu menyadarkan aku dari lamunan. Aku bingung untuk menjawabnya, karena perjumpaan ini betul-betul hanyalah kebetulan.

Baca juga :  Meminjam Bahagia pada Laut || Puisi

 “Aku minta maaf ya, udah mengganggu”, lanjut adikku. Suara penuh sesal pun dilontarkan adikku. Dia begitu merasa bersalah karena menjadi orang ketiga. Maklum, adikku sangat mengerti sama kakaknya. Itulah yang membuat aku selalu nyaman untuk mengajaknya berjalan bersamaku.

“Maaf ya, Jeni. Nanti kakak jelasin ya… hehehe”, sambung aku sambil menenangkan Jeni, adikku yang paling aku sayangi.

“Jeni, ayo kenalan sama kakak Mora ya”, pintaku kepada adik kesayanganku.

“Wah, cantik sekali kak Mora”

“Makasih de,” sahut Mora.

Segelintir percakapan singkat itu mencairkan suasana. Entah mengapa Jeni pun berinisiatif untuk berlangkah mencari tempat bermain. Kemudian Jeni meninggalkan kami berdua dan pergi bermain dengan teman-temannya. Aku pun duduk mendekati Mora. Aku tidak menghiraukan bentuk hubungan yang sedang terjalin. Yang ada dipikiranku cukup ada di sampingnya saja. Namun sejuta rasa mendatangi jiwaku, menerobos batas-batas indrawi hingga meluap rasa gembira yang tak pernah kubayangkan. Candu tanya pun bergelora untuk mengenal lebih dalam gadis yang menemani pikiranku akhir-akhir ini.

“Mora, lagi ngapain ni. Kok duduk sendirian aja ni?” tanyaku penuh basa-basi guna mencairkan bekunya kesunyian.

“Aku hanya sekedar refreshing”, sahutnya.

“Oya, ngga apa-apa kan aku temanin kamu duduk di sini? Ya, meskipun baru kenal juga kan. Hehehe…”, lanjutku sembari tertawa kecil.

“Ya boleh, ngga apa-apa kok”, jawab Mora.

Kami menghabiskan hampir dua jam untuk bercerita dan berbagi kisah. Ada yang manis tetapi ada pula pahitnya. Aku pun ikut mengisahkan lika-liku hidupku sembari saling meneguhkan satu sama lain. Sederet kisah sungguh menyandera aku. Dan itu membuatku tak menghiraukan sama sekali orang-orang di sekitarku, yang ada hanyalah sebuah desakan untuk tetap berada bersama dirinya.

“Mora, aku hanyalah seseorang yang terdampar di celah sejarahmu, tidak lebih dari butiran debu yang melekat di setiap langkahmu dan tak sebanding pahlawan jiwamu. Tetapi saat ini aku di sini. Aku bersamamu dan hanya memilikimu. Liputan momen bagiku tidaklah penting, dan buat aku sekali saja sudah cukup. Maka pertemuan kita yang kedua ini menjadi momentum kita bersama. Aku akan berjalan bersamamu tanpa harus Mora mengajakku”. Ungkapan perasaanku yang tak bisa kubendung.

Baca juga :  Senja di Langit Nabire

 “Terima kasih Aldo, sudah mendengarkan aku. Itulah hidupku.” Jawab Mora.

“Setelah berpisah dengan ayah dan ibu, aku berjuang seorang diri. Selain mencari uang kuliah aku juga bekerja untuk membantu adikku yang masih di bangku SMA. Tetapi aku tidak bisa menghasilkan uang sebanyak yang kami perlukan. Uang yang aku miliki lebih banyak dipakai untuk membayar kuliah, sementara uang makan dan minum kudapatkan dari kerja sampingan.” Lanjut Mora.

Air matanya berlinang-linang. Seribu rasa menjajah jiwa raksasanya hingga tubuhnya menjadi lemah dan tersandar di bahuku. Aku memeluknya erat-erat, membukakan sayap cintaku menghangatkan tubuhnya hingga nyaman dalam pelukan ini. Sungguh aku terpikat. Aku tidak tahu kenapa rasa itu menyebar begitu cepat, kian mendarah daging dengan ragaku. Jiwaku pun ikut menyetujui rasa hingga menghadirkan kenyamanan yang tak perna kualami sebelumnya.

Aku jujur, ini bukan sekadar godaan parasnya, atau spirit perjuangannya, tetapi kesadaran mendalam akan apa yang sedang Mora lakukan. Aku mengerti pekerjaan sampingannya. Dia mengatakan itu persis dengan air mata yang terus bergelinang di pipi manisnya. Awalnya aku bingung tetapi aku sudah mengerti sekarang, pada saat-saat tertentu tubuh kudus, takhta Allah mora harus dijadikan barang negosiasi demi nasi sepiring. Sungguh pilu.

“Mora, aku di sini sesungguhnya tidak bertujuan apapun, bahkan ide bertemu denganmu tak singgah di pikiranku. Tetapi kini aku jadi sahabatmu. Aku bangga karena kamu begitu cepat percaya denganku hingga menceritakan semuanya. Sekarang aku jujur padamu, awalnya aku menyukaimu dan setelah wajahmu terbawa dalam imajinasiku membuatku semakin menginginkanmu. Namun sekarang tidak hanya sekadar rasa suka tetapi aku telah jatuh cinta padamu dan cintaku melampaui dosamu.”


*Oleh Aldo de Deus