ClaretPath.com– Bunda, Mengapa Engkau Bersedih?
Namaku adalah Maria Yolenta Ninu. Teman-teman sebayaku sering menyapaku dalam keseharian dengan nama Lenchy. Aku adalah putri tunggal dari lima bersaudara. Selain aku adalah putri tunggal aku juga adalah anak bungsu. Sehingga dapat dibayangkan bagaimana rasa sayang yang kudapat dari saudara-saudaraku. Mereka semua begitu menyayangiku bahkan mereka tak menginginkan seorangpun membuat aku meneteskan air mata. Saudara-saudaraku yang lain sudah menyelesaikan pendidikan pada tingkat Sekolah Menengah Atas sementara aku masih duduk di bangku SMP kelas VIII. Ketiga saudaraku yang lain kini ada di tempat kerjanya masing-masing bersama keluarga mereka yang baru. Sementara kakak laki-laki yang bungsu baru saja menamatkan pendidikan di bangku SMA dan belum mau untuk lanjut kuliah dan dia berencana untuk berbisnis.
Keseharianku adalah sebagaimana anak perempuan lainnya yang sudah tumbuh dewasa. Setelah pulang dari sekolah biasanya aku dan beberapa temanku pergi mencari kayu bakar di hutan untuk memasak. Hal ini memang tidak terlalu sulit karena aku sering bepergian dengan kakak laki-laki yang bungsu. Ia selalu mengikuti dan menemaniku dalam beberapa kegiatan di luar rumah. Kami adalah keluarga yang sederhana namun kaya dalam kasih sebagai satu keluarga. Ayah dan bunda kami adalah seorang petani biasa yang punya semangat bekerja dan memberikan contoh-contoh yang baik untuk tumbuh dalam pengetahuan dan iman.
Kami dididik dengan dedikasi yang tinggi dalam kebenaran-kebenaran Kristiani. Oleh karena itu aku sempat berpikir untuk menjadi seorang biarawati suatu saat nanti kala itu. Kami semua tinggal di desa ayah yang jauh dari daerah perkotaan. Kota, yang menjadi pilihan favorit kini telah sempit dan tidak memungkin kami untuk tetap bertahan di sana. Akupun merasa memang hidup kami akan lebih baik di desa ayah. Disini suasananya sangat indah, banyak pepohonan, para penduduk yang ramah, dan alamnya sangat terjaga. Kepanasan seperti yang dialami daerah perkotaan tidak pernah kunikmati di sini. Para petani di desa ayah tidak pernah mengalami gagal panen karena kekeringan tetapi sering gagal panen karena hujan yang berlebihan. Hujan bisa saja turun satu minggu tanpa hentinya. Di desa ayah, musim kemaraunya hanya lima bulan saja dan sisanya adalah musim hujan.
Waktupun terus berjalan dengan setiap kisah yang telah ku jejaki. Beberapa kisah telah menjadi sejarah yang perlu kukenang di masa yang akan datang bersama ayah, ibu, dan saudara serta penduduk di desa ayah. Sekarang aku telah menyelesaikan pendidikan di bangku SMP dan ingin melanjutkan di tingkat yang lebih tinggi di kota. Hal ini dikarenakan di desa ayah belum ada SMA atau yang sederajat lainnya. Terpaksa aku harus ke kota untuk sekolah di sana dan kakak laki-laki bungsu harus ke kota Propinsi untuk melanjutkan kuliahnya. Dengan saya dan kakak laki-laki ini keluar dari rumah maka tidak ada lagi yang tinggal di rumah untuk menemani ayah dan bunda dalam keseharian mereka. Mereka harus bekerja sendirian dengan umur yang sudah cukup lanjut. Walaupun saudara-saudara yang tertua lainnya sudah bekerja dengan gaji yang layak tetapi kami jarang sekali meminta biaya sekolah dari mereka karena mereka sudah punya keluarga dan membiayai kehidupan keluarga mereka. Kami berdua terpaksa masih tetap harus meminta biaya dari ayah dan bunda. Walaupun begitu ayah dan bunda untuk satu tahun ini mereka tidak kesulitan sama sekali. Setiap kali aku meminta uang mereka selalu menyanggupinya. Hal ini juga berlaku untuk saudaraku yang sedang kuliah.
Tahun pertama ketika aku kembali ke desa untuk berlibur, aku terkejut dengan semua perubahan-perubahan kecil yang terjadi. Curah hujan kini mulai berkurang karena pepohonan sudah mulai ditebang. Beberapa gigi besi berterali perlahan-lahan mulai melahap pepohonan yang memberikan sumber air dan hujan bagi desa kami. Tapi bersyukur juga bahwa desa ayah mulai ramai dan jalanan mulai bagus. Waktupun terus berlalu dan berjalan meninggalkan setiap insan dalam kenangan-kenangan yang memberi warna dalam hidup. Akupun melihat betapa ayah dan bunda sudah tidak mampu lagi bekerja sendiri karena kekuatan mereka sudah termakan usia. Aku merasa iba terhadap ayah dan bundaku yang sudah tua dan hidup sendiri saja di desa. Aku kemudian merasa baik kalau aku berhenti sekolah dan tinggal di desa untuk membantu mereka, tetapi bunda malah melarangku dan menyuruh untuk tetap melanjutkan pendidikan sampai selesai. Akhirnya aku memutuskan untuk meminta bantuan dari saudara-saudara yang lain dan mereka menyanggupinya. Akupun baru saja sadar kalau ternyata mereka tetap mengingat dan menyayangiku walau sudah dengan keluarga mereka yang baru.
Akhirnya aku tidak lagi pulang ke desa sampai aku menamatkan pendidikan di bangku SMA. Setelah ujian akhir selesai, aku langsung bergegas kembali ke desa untuk menikmati liburan panjang tahun ini. Kali ini aku sungguh terkejut karena desa ayah telah mengalami perubahan yang sangat besar. Aku sendiri bahkan hampir tidak mengenali letak rumahku. Suasana desa sudah jauh berbeda ketika pertama kali aku lihat. Pepohonan dulu yang sering melindungi kepalaku dari terik matahari kini telah tiada. Semuanya menyerah dibawah gigitan sang pelahap. Mereka sudah tidak lagi tegak berdiri untuk melambai-lambaikan daunnya kepada setiap tangisan manja yang memecah cakrawala.
Suara kicauan burung yang indah kini telah diganti dengan suara-suara mesin yang memecah dan merobek tubuh sang Bunda Bumi. Setiap pohon yang memberikan udara yang segar kini diganti dengan beberapa gedung pencakar langit. Desa ayah memang telah jauh berubah dan menemukan wajah yang baru. Wajah yang penuh dengan deraian air mata sang Bunda. Wajah Bunda yang memberi kehidupan kepada setiap makhluk telah ternoda. Kini aku melihat wajah desa ayahku tidak lagi seindah dulu yang sejuk, adem, dan sangat cantik. Wajahnya kini sangat kumal, penuh dengan luka, tidak terawat dengan baik dan sangat jijik dalam pandanganku. Aku bahkan bisa melihatnya menangis dan menjerit kesakitan karena ia terus disakiti.
Anak-anak seumuranku dulu, kini tidak lagi menikmati indah dan asrinya desa. Mereka bahkan tidak tahu bagaimana rasanya ketika dedaunan menyapa di pagi hari. Mereka tidak lagi mendengar indahnya kicauan burung dan orkestra binatang di malam hari. Semuanya tiada karena mereka kehilangan rumah tinggalnya. Semuanya dilahap dan tak lagi tersisa. Sumber air kehidupan yang dulu melimpah kini semakin sulit untuk didapat. Kami harus menempuh jarak yang sangat jauh untuk mendapat air bersih untuk diminum. Kami begitu menderita. Tanah yang dulunya milik kami secara penuh kini juga telah diambil orang, mereka merampas semua yang menjadi milik kami. Kini kami, hanya memiliki tanah yang digunakan untuk membangun rumah, selebihnya adalah milik mereka yang menatap penuh nafsu terhadap uang. Mereka membangun dengan gedung yang lebih tinggi yang menandakan kecongkakkan diri. Bundaku terus dilukai.
Saat jagat menjadi gelap, barisan pasukan penjaga malam bertebaran di langit, ditemani dewi purnama yang memancarkan keelokannya seakan menangisi sang Bunda, tetapi Bunda tetap ramah. Mereka menatap dengan hati yang pilu. Akhirnya beginilah desa ayahku, dulu hujan adalah teman kami, kami sempat memarahinya karena terlalu sering mengunjungi kami. Bahkan kami sampai mengutukinya karena kesetiaannya terhadap kami. Namun kini desa kami amat merindukannya dan kami berharap bahwa ia mau berkunjung sesering dulu. Kami terpaku menghitung waktu dan esok tetaplah kemarau datang dengan kemungkinan perpanjangan masa kunjungan. Hari-hari hidup kami adalah hari yang penuh dengan kekeringan. Percayalah bahwa genangan air di pekarangan rumah adalah keajaiban kala ini.
Rintihan sang Bunda, kini menjadi kesedihan bagi anak-anaknya. Dalam kepedihannya, Bunda hanya terus menyimpan dan memohon belas kasihan. Bunda hanya berharap anak-anaknya mau untuk merawatnya. Bunda hanya ingin tangan-tangan yang penuh dengan kasih untuk menjamah dia. Tangan yang memiliki harapan akan masa depan yang baik bagi Bunda dan anak-anaknya. Karena Bunda tahu bagaimana sakit melahirkan kehidupan dan kembali menerima kehidupan dalam pelukannya. “Puji Bagi-Mu” . . .
ClaretPath.Com adalah ruang pengembangan bakat menulis dan media kerasulan, terinspirasi dari Santo Antonius Maria Claret, Pelindung Pers Katolik.