ClaretPath.com – Suatu hari di tahun 1994, seorang perempuan berbadan kurus berwajah lusuh, naik ke atas sebuah panggung mahaakbar untuk “berteriak”. Langkahnya menuju panggung, diringi nyanyian sunyi berjuta pasang mata yang datang dari seluruh dunia.
Perempuan itu adalah Noy. Ia seorang perempuan elok rupa, salah satu korban kejahatan terhadap wanita. Noy perempuan desa, yang karena alasan kerja pergi ke negeri Sakura. Di sana, nasib naas menimpa dia. Di negeri asal kartun doraemon itu, Noy menuai nasib menjadi korban. Ia dilecehkan secara verbal, pun secara seksual.
Nasib yang demikian tragis itu kemudian membawa Noy ke atas panggung mahaakbar, Konferensi PBB mengenai perempuan pada tahun 1994. Di atas panggung kelas dunia itu, Noy yang telah lama diam dalam derita – mendapat ruang untuk berteriak. Ia bersuara dengan gemetar dan derai air mata.
Noy adalah perempuan korban yang tertangkap lensa dunia. Masih banyak perempuan dengan derita serupa. Sebut saja mereka sebagai Noy-Noy lain yang luput dari perhatian bersama. Mereka ada di mana-mana. Tidak hanya cerita dari dunia seberang sana, tetapi juga banyak terjadi di depan mata.
Maria Magdalena, nama samaran untuk seorang perempuan korban yang saya temui April lalu – di sebuah Pulau. Ia cantik lagi manis. Ia putri dari sebuah keluarga, yang katanya sangat taat agama dan adat.
Saya lumayan mengenal Maria. Selama di pulau itu, saya kelimpahan informasi tentang dia. Bukan karena saya mencari – melainkan karena namanya sering menjadi bahan cerita warga. Hampir setiap orang yang saya jumpai, tak alpa menyebut nama Maria dalam cerita. Pokoknya ia viral, sebagai buah bibir.
Dari banyak cerita, akhirnya diketahui bahwa Maria menjadi omongan warga, karena ia telah mendapat momongan di luar nikah. Maria pada mulanya seorang mahasiswi di Kupang, tetapi terpaksa pulang karena mengandung. Ketika dipanggil pulang, ia membawa serta seorag pria, ayah kandung buah rahimnya. Namun sayang, dewi fortuna tidak berpihak pada Maria. Keluarga menolak si pria – karena tak sama adat dan agama.
Mengandung di luar nikah tak hanya membuat Maria menjadi omongan warga. Ia juga dikucil dari ruang sosial. Malah dalam keluarga, Maria dipandang sebelah mata. Dalam situasi yang demikian getir, Maria jatuh dalam reviktimasi ala Kamala Chandrakirana: “Ia telah sangat menderita, lalu menjadi korban cibiran dan bulian massal yang dikriminatif.” Dan akhirnya, dalam kehidupan bersama Maria lebih memilih diam.
Maria, juga Noy, adalah gambaran nyata dari nasib runyam kaum perempuan. Tidak sedikit catatan sejarah membuktikan, banyak wanita mengalami duka dan kegetiran serupa. Mereka menderita secara ganda. Sudah menjadi korban, mereka menjadi obyek cibiran, dan dikucilkan dari ruang sosial. Mereka direviktimasi, menjadi korban berkali-kali.
Dalam situasi yang demikian runyam, para perempuan korban umumnya memilih untuk diam. Seperti yang diceritkan juga oleh Christina Sumarmiyati, seorang perempuan korban yang akhirnya lebih memilih bungkam. Sama seperti Maria – berhadapan dengan cibiran, hinaan, bulian orang terhadapnya, Christina lebih memilih untuk diam, tidak mau bersuara.
Jalan keluar paling mungkin berhadapan dengan perempuan korban yang memilih bungkam adalah membuat mereka berteriak. Seperti umat pilihan (baca: bangsa Israel), perempuan korban harus berteriak. Ketika ditimpa perbudakan, bangsa pilihan “berteriak” meminta tolong kepada Tuhan. Teriakan bangsa Israel didasari pada keyakinan yang lestari, bahwa Tuhan adalah penolong sejati (cf. Yes14:8; Mzm 3:8, 54;6, 40:18)
Fragmen teriakan paling keren bisa ditemukan dalam Kitab Keluaran. Dalam Kel 3:7-10 –“misalnya”– disajikan tema biblis, soal teriakan sebagai term teknis. Di sini, selain merujuk pada erangan umat pilihan dalam derita perbudakan, teriakan berfungsi juga sebagai kata kunci yang mengundang keterlibatan Tuhan. Suara teriakan menjadi preseden, yang pada gilirannya menjadi alasan yang membuat Tuhan turun tangan, melepaskan umat pilihan dari perbudakan.
Penting dicatat bahwa dalam alam pikir kitab suci, umat pilihan pun digambarkan sebagai perempuan. Bangsa Israel adalah perempuan – mempelai Tuhan. Dalam pada itu, bisa dikatakan di sini bahwa: perempuan berteriak adalah nama lain dari harapan pembebasan umat Israel dalam perbudakan. Dan, sebagaimana umat pilihan berteriak lalu dibebaskan – demikian pula hendaknya perempuan korban. Mereka perlu berteriak.
Salah satu hal penting, dalam upaya membuat perempuan korban berteriak adalah menyediakan ruang, tempat mereka bisa berteriak. Seperti Noy, Maria dan siapa saja yang mengalami derita seperti mereka – patut diberi ruang, mendapat panggung tempat berteriak.
ClaretPath.Com adalah ruang pengembangan bakat menulis dan media kerasulan, terinspirasi dari Santo Antonius Maria Claret, Pelindung Pers Katolik.