Bersama Bayanganmu

By. Sr. Neta Bere, SMCJ

Bersama Bayanganmu
Picture by ClaretPath

ClaretPath.com – Bersama Bayanganmu

Musim dingin tahun 2019 telah berlalu. Kini hanyalah kenangan yang abadi membekas di ziarah hidupku. Entahlah kenapa aku masih terkenang akan dirimu bersama segala tetes kebaikan yang pernah terajut. Malam itu Nampak sunyi lebih dari malam-malam sebelumnya. Tak seorang pun tahu lebih dalam tentang malamku ini. Malam ini tanpa sepengetahuan Magistra (Pemimpin para novis), aku beranjak dari Kapel menuju tempat yang sunyi. Malam pekat tak berbintang. Terdengar bunyi Kereta seakan-akan bunyi itulah yang menemaniku di malam dingin. Salju menumpuk setinggi 5 meter, di halaman biara. “Putih bagaikan Salju.” Lirik dari lagu  “Yesus Mutiara Sanubariku” terngiang dalam pikiranku. Dan kini aku berada di tengah Salju putih itu. Di bawah pohon Sakura.

Sengaja aku bersandar untuk menikmati malam itu. Aku sendirian saja. Rindu tak terobati membuatku dilema. Di tengah kedinginan itu, aku mencoba untuk memahami diriku, sebagai manusia yang rapuh sudah tentu mengalami perasaan-perasaan duniawi yang menguasai hasrat manusiawiku. Dalam hati kecil aku beranggan, “Tuhan, andaikan ‘dia’ ada bersamaku, tak akan pernah aku merasakan perih seperti saat ini. Namun, inilah kenyataan di mana peristiwa ini pasti akan menguatkanku untuk terus menapaki jalan yang sudah Dikau tentukan bagiku.”
Malam semakin gelap. Tiada bunyi-bunyian yang terdengar lagi seperti sebelumnya, selain suara hatiku yang bergeming di kedalaman batinku. Mungkinkah ini yang dinamakan kesepian? Entahlah. Tiada jawaban yang kutemukan selain deraian mata yang membasahi pipiku. Malam ini, aku ingin menghabiskan waktuku untuk terus mengenangmu. “Aku tak perduli apa yang akan kutemukan esok. Adakah getaran ini juga dirasakan oleh si dia kekasihku itu?” Batinku berharap.


Putih bersih salju menerangi kegelapan malam. Jam tangan menunjukkan pukul 11.00. waktu negeri Sakura. Aku tersadar ketika lampu luar dimatikan oleh tukang kebun, yang tanpa kusadari telah mengintipku melalui jendela kamar miliknya. Aku pun tersentak kaget,  saat langkahku dihentikan olehnya. Namun, sengaja aku tak memedulikannya. Aku merasa suara kekasihku menyapa aku lewat angin malam di musim dingin itu. “Ah,  apa yang ada di benakku saat ini. Hanya dia. Yah, hanya dia kekasihku. Dengan langkah yang penuh hati-hati, aku melangkah masuk melewati lorong demi lorong panjang itu. Lorong panjang itu ibarat sedalam rindu yang terpendam lama di dadaku hingga saat ini. Aku memasuki ruang doa, untuk mencurahkan semua rasaku kepada Tuhan. Di depan tabernakel, aku mengenang kisah kita, dan menggoresnya pada kertas kosong.
Semenjak itu, aku berkomitmen untuk tidak menghubungimu lagi, karena aku segan bila berhadapan dengan keluarga dari suku besarmu. Aku hanyalah seorang gadis sederhana dari desa. Aku adalah tetanggamu, keluargamu, juga sahabatmu. Saat Tuhan mempertemukan kita di masa SMA dulu, kau pernah berjanji, untuk menjagaku semampumu dari lelaki manapun. Namun, aku tak merespon ketulusanmu itu. Karena aku tak ingin diperlakukan seperti itu. Aku tahu niatmu tulus. Kau bercerita tentang aku kepada para sahabatmu bahwa akulah kekasihmu.
Masa- masa SMA kita lewati bersama, meskipun terkadang bagaikan neraka yang selalu menyiksaku. Hubungan  tetap kita jalankan meskipun rasanya seperti langit dan bumi. Matahari dan bulan. Karena realitas cinta sejatinya tidak seperti yang diharapkan.

Baca juga :  Di Masa Tua Pun Masih Berbuah

Pada suatu kesempatan, kau bertanya, “apakah kau mencintaiku?” Apakah kau mau menerima aku sebagai kekasihmu?” Serta banyak hal yang kau tanyakan waktu itu. Tapi, aku tak member satu jawaban pasti dari semua pertanyaanmu itu. Aku membencimu, tapi sebenarnya aku sangat mencintaimu, hanya saja hatiku tak sanggup mengungkapkannya. Hatiku dan hatimu juga mengharapkan jawaban yang pasti akan hubungan, dimana kau dan aku memulainya saat itu. Jawabannya di balik dinginnya sikapku. Tak terasa, hubungan kita sudah genap berusia satu tahun. Dimana dihari itu, aku berulang tahun dan genap usiaku sweet seventeen. Aku bermaksud untuk menutupinya darimu. Namun , entahlah… malah kau orang pertama yang menyampaikan ucapan selamat atas hari ulang tahunku itu. Dan, kau menghadiahiku dengan sebuah  bingkisan kecil dan buruk. Ketika aku menerimanya, tak kelihatan sosokmu. Kau pergi tanpa kata. Dengan perasaan kecewa, aku pun membawa pulang bingkisanmu itu tanpa berpikir banyak.
 Air mataku menetes tiada henti bagai hujan di bulan Januari yang enggan pergi. Ketika aku melangkah menuju kamar. Kuhempaskan tubuh ke atas ranjangku, hatiku pilu dan berteriak : “Oh Tuhan apakah artinya bingkisan ini?” “Aku mencintai dia, lalu mengapa begini?”

Tiba-tiba  nada telepon berdering. Aku sengaja membiarkannya bergetar, bersama dengan gelombang perasaan yang kualami saat itu. Lalu, berdering dan berdering lagi. Dan, kau pun sudah berdiri penuh misterius di depan pintu kamarku. Mengapa, dan kapan kau datang?” Entahlah, aku yang masih berseragamkan  putih abu-abu, bangkit berdiri lalu membuka pintu kamar untuknya. Aku tak lagi sadar, ternyata aku baru saja habis menangis. Mataku sembab. Wajahku pucat, hatiku terasa diiris dengan sembiluh yang menyayat hati ini. “Mungkinkah sembilu itu yang ada padamu untuk mengiris hati ini?” Kau sudah tahu, apa yang akan kulakukan hari itu.  Hatimu tak tenang tanpa melihat aku. Kau datang. Sikapmu so cool. Namun, pada biasan bola mata dan dari lubuk hatimu yang terdalam, terlihat jelas aliran kehangatan cinta kepada diriku ini. “Happy birth day!“  Sapamu.

Baca juga :  Sepenggal Sajak dari Frater untuk Mantan III

Aku tertunduk. Lalu kau bertanya : “ Ada apa denganmu?“ Dan sebelum aku menjawab pertanyaanmu, kau menarik lenganku dan berbisik,  “Sayang Kau.” Disusul dengan ciuman pertamamu yang kau kenangkan pada keningku. Ketika aku membuka mata, aku sudah berada dalam pelukanmu. Aku nyaman, namun rasa tersiksa. Jantungku dan jantungmu berdetak bersama detakan jarum jam dengan laju kecepatan yang sama. Kau menuntunku memasuki kamarku. “Aku tahu, kamu tidak pernah mengizinkan seorangpun memasuki kamarmu, siapapun dia. Namun hari ini, aku memberanikan diri untuk menerobos masuk ke dalam hidupmu, melalui pintu kamar ini, yang adalah pintu hatimu sendiri, dan sekarang, katakan dengan jujur, “apakah kau mencintaiku?” katanya. Dengan menahan air mata aku menjawab: ”Iya! Tetapi, apakah kau sadar, penderitaan yang aku alami setelah aku mengenalmu?” Aku tersiksa karena dirimu. Aku sangat mencintaimu tetapi, aku tak suka pada keluargamu.” Ketika itu, kau hanya terdiam membisu. Mungkinkah kau merenung tentang masa depan kau dan aku yang jauh di sana?” Kau hanya membisu dan masih tertunduk. Panas terik di hari itu, berubah menjadi mendung yang kelam. 

Saat itu waktu yang istimewa, kau dan aku telah mengukir kisah hidup sepasang manusia. Aku masih saja tetap diam tanpa bahasa, dan suaramu, memecahkan keheningan pada mendungnya duniaku dan duniamu. ”Aku bisa mengerti semuanya dengan baik, aku tetap menghargai ungkapan hatimu, maafkan aku, bila terlanjur melukaimu, jangan pernah menyesali pertemuan ini, karena aku adalah orang terakhir yang mencintaimu dengan tulus. Aku tersadar, ketika kau mengambil bingkisan yang kau hadiahkan untukku. Aku menatapmu.” Dalam kebingungan itu, kau bersuara; ”Aku tak memiliki yang lebih berharga, selain ketulusan hatiku dan bingkisan ini, aku mohon simpanlah!” Bila cintamu tulus, kau akan menggunakannya di suatu saat nanti.” Setelah itu, kau pergi menghilang di balik kain pintu kamarku yang berwarna biru langit bersama mendung langit sebelum senja. Engkau pergi mendahului senja. Aku pun kembali bergeming dalam hening. Perasaan bahagia membunga pada lubuk hatiku. Mengenang kecupan hangat pada keningku. Kau telah pergi. Entahlah ke mana. Kini yang tersisa di sini aku bersama bayanganmu.

Baca juga :  Indah di Seberang

Malam pun tiba.  panas campur dingin, sejuknya Atambua kota beriman,  menggores sebuah history in my life. Apakah mungkin bingkisanmu, mengubah masa depanku? Sehingga kini, kau dan aku tak bersama, selain banyanganmu? Malam semakin pekat. Pikiranku masih tertuju pada bingkisan penuh misteri itu.

 Tujuh tahun telah berlalu…

Kini kau dan aku melangkah lebih jauh ke depan. Aku dengan pilihanku, yang pernah aku ceritakan padamu  dan pada kedua orangtuamu, sebelum kau dan aku memulainya. Aku memilih untuk menjadi pelayan pada kebun anggur-Nya, tetapi pergulatan antara aku dan bayanganmu terus menyiksa batinku ini. Kau telah lama pergi. Entalah kemana, aku tak tahu keberadaanmu. Aku sempat berpikir, untuk mencarimu. Namun, aku menghentikan niatku itu. Aku membiarkanmu pergi dan mencari Sang Cinta hingga kelak engkau bahagia di pelukanNya.

Bersama bayanganmu aku mengukir puisi tentang kita:

Ketika mengenang dirimu,
alunan suara hatiku bernyanyi indah dalam sukma,
hanya untukmu, yang telah menghilang…
"Mengapa kau harus pergi?

Aku bahagia dengan panggilanku saat ini, jiwaku menggaungkan syukur kepada Sang Cinta yang tetap menunggu diriku, meskipun aku belum sadar akan Cinta-Nya.

Tuhan adalah  Cinta.
 Gelombang cinta terus bernada

Bersama derasnya ombak di lautan lepas

cinta tetap bermadah
meskipun ombak hidupku datang dan pergi,

menggores history sang peziarah.
Hanya satu yang aku yakini
Panggilan suci kita
adalah anugerah dari
Sang Cinta…

Mari kita terus melangkah
Menelusuri setiap lorong suci
yang telah disediakan oleh Sang Cinta
Untukku dan untukmu

Kau mencintaiku seperti aku juga mencintaimu
Dia mencintai kekitaan kita
Mari kita berjalan bersamaNya
Menuju proyek cintaNya yakni keselamatan umat manusia.
Melalui panggilan ini.