ClaretPath.Com– Autokoreksi
Hari Sabtu Pekan Biasa Ke-V, 11 Februari 2023
Hari Orang Sakit Sedunia
Bacaan I: Kej. 3:9-24
Bacaan Injil: Mrk. 8:1-10
Narasi suci hari ini sangat menarik untuk direnungkan. Ada beberapa poin yang bisa kita petik dari kedua bacaan suci yang hari ini. Dalam bacaan pertama kisah jatuhnya Adam dan Hawa merepresentasikan sebuah kondisi manusia riil zaman sekarang.
Kecendrungan Untuk Mengkambinghitamkan Orang Lain
Point pertama; adalah kecendrungan untuk menyalahkan orang lain atas musibah yang menimpa diri kita sendiri. Atau orang lain menjadi kambing hitam atas pendertiaan bahkan kemalangan yang kita terima. Ketika Allah bertanya, apakah engkau makan dari buah pohon yang Kularang engkau makan itu? Adam tidak menjawab ya atau tidak, namun ia menjawab: “perempuan yang kau tempatkan di sisiku…, maka kumakan”. Kata tanya dalam pertanyaan Allah sangat jelas; “Apakah….?” Namun, Adam menjawab Allah dengan sesuatu yang sebenarnya sama sekali lain, yakni dengan “Kata perempuan” (subyek) yang merujuk pada pertanyaan “siapakah….?” Benar, Allah tidak memarahi Adam karena menjawab sesuatu yang tidak ditanyakan. Namun, refleksi kritis yang kita peroleh adalah Adam (manusia) itu melempar kesalahanya kepada si perempuan. Dan hal yang sama juga dilakukan si perempuan kepada ular. Seharusnya jawabanya yang benar atas pertanyaan Allah kepada Adam adalah “Ya” saya memakannya. Jika ditanya siapa yang menyuruh engkau makan, maka jawaban yang tepat, perempuan yang kau tempatkan…maka kumakan.
Kita Perlu “Mengenakan” Pakaian Autokoreksi
Pointnya adalah; salah satu kecendrungan manusia sekarang ini adalah menemukan orang lain atau menuduh orang lain sebagai biang atas kemalangan, atau pun kejatuhan yang sedang menimpanya. Orang lupa bahwa ketika kemalangan atau penderitaan yang kita alami tidak semata-mata kesalahan orang lain. Kita perlu “mengenakan” pakaian autokoreksi atas diri kita, dengan tujuan merefleksikan pengalaman itu bagi diri kita. Jikalau kita sibuk menuduh orang lain atau mengkambinghitamkan orang atas penderitaan yang kita alami. Yakinlah kita tidak pernah merasa kita bertanggungjawab atas penderitaan kita. Kecendrungan itu akan terbawa selama kita berziarah.
Pesannya penting untuk memiliki kesadaran atas autokoreksi untuk diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain. Dengan autokoreksi kita akan dengan lapang dada menerima semua penderitaan, kesalahan atau kemalangan yang terjadi sembari membenah diri dan belajar untuk tidak jatuh dalam kesalahan yang sama. Saya yakin sekecil apa pun pengalaman pahit yang kita alami selalu ada secuil pesan untuk kita sendiri. Jadi sangat penting untuk memiliki kesadaran autokoreksi atas diri sendiri.
Penutup Dosa: “Pakaian dari Kulit Hewan”
Point kedua, adalah realitas ketelanjangan manusia pertama setelah memakan buah terlarang adalah satu seruan profetis kepada umat manusia bahwa konsekuensi logis atas setiap dosa yang kita lakukan adalah kita akan merasa telanjang di hadapan Allah. Benar, Allah akan mengampuni dosa dan salah kita. Atau Allah akan mengenakan kepada kita “pakaian” dari “kulit hewan”, agar kita tidak merasa malu. Namun, kenyataan telanjang di hadapan Allah menjadi satu realitas bagi peziarahan umat manusia. Jikalau dengan tahu dan mau berbuat dosa, maka secara serentak tahu dan mau terlihat telanjang di hadapan Allah dan merasa malu. Jika tidak mau merasa “malu” di hadapan Allah karena telanjang, lakukannlah apa yang seharusnya!
Kita Semua Terpanggil Untuk “Memberi”
Point dalam narasi Markus tentang memberi makan orang banyak adalah bahwa; sebagai pengikut Kristus Kita pun terpanggil untuk“memberi” makanan rohani kepada orang-orang yang membutuhkannya. Namun, kita hanya mampu memberi orang makanan rohani, jikalau kita terlebih dahulu telah terpuaskan dengan makanan yang sama. Maka, pointnya kita perlu terlebih dahulu mengenyangkan diri kita dengan santapan rohani (Ekarisiti, Sabda Allah, Sakramen-sakramen dll). Jikalau kita telah dipuaskan oleh santapan rohani yang bersumber dari Ekaristi, Sabda Allah, sakramen-sakramen dan pengalaman dicintai oleh Allah, maka kita akan mampu mengenyangkan orang lain. Adalah sebuah kemustahilan, jikalau kita menggebu-gebu ingin memberi makan santapan rohani kepada orang lain, jikalau perut kita terasa perih karena ketiadaan santapan rohani dalam tubuh kita. Jikalau kita telah kenyang dengan santapan rohani, maka kita akan dengan mudah menyenangkan orang lain. Semoga.
Penggiat literasi