ClaretPath.Com–Asal Saja Kujamah Jubah-Nya, Aku Akan Sembuh
Hari Selasa Pekan Biasa Ke-IV, 31 Januari 2023
Peringatan Wajib St. Yohanes Bosko
Bacaan I: Ibr. 12:1-4
Bacaan Injil: Mrk. 5:21-43
Manusia Sebagai Makhluk ‘Ke-belum-an’
Manusia adalah sebuah wacana yang tidak pernah selesai. Ia (baca: manusia) menjadi sebuah tema yang cukup ‘licin’ layaknya seekor belut yang selalu lolos dari tangkapan nalar kita. Hal ini bisa kita rekognisi melalui sejumlah besar buku atau pun teori yang ada dan mencoba untuk mendefenisikan siapa atau apakah manusia itu secara defenitif. Meski begitu, pertanyaan eksistensial ini sejatinya hanya akan menyuguhkan sebuah pertanyaan baru. Semakin kita bertanya, semakin kita pun akan ditanyai olehnya. Karena itu, kita pun kerap kali juga menyebut manusia sebagai ‘makhluk ke-belum-an’. Artinya, manusia akan tetap tinggal dalam sebuah pertanyaan sebab ia sendiri adalah tanda tanya (?) bukan tanda titik (.).
Atribut manusia sebagai ‘makhluk ke-belum-an’ ini tentu mengganggu akal sehat kita. Bahkan bertendensi mencederai dan melukai hati. Namun, atribut yang menyakitkan itu bukannya datang tanpa sebuah pendasaran. Selain karena manusia itu bersifat dinamis dan misterius, salah satu referensi dari atribut manusia sebagai ‘makhluk ke-belum-an’ itu adalah narasi suci yang kita renungkan sepanjang hari ini. Malahan penulis Injil Markus menyodorkan dua refensi sekaligus; yakni kisah tentang penyembuhan wanita yang sakit pendarahan selama 12 tahun dan kisah tentang Yairus dan putrinya yang juga berusia 12 tahun. Menyelipkan sebuah kisah yang lain dalam tulisannya, rupanya juga menjadi kekhasan dari Injil Markus ini.
Terhadap dua kisah yang ‘hampir’ sama ini, kita mencoba untuk sedikit memberi perhatian pada kisah penyembuhan perempuan yang sakit pendarahan selama 12 tahun. Keterpasungan dalam sakit pendarahan selama 12 tahun bukanlah sesuatu yang mengenakkan. Sebaliknya, sungguh sangat menyakitkan. Keadaan sakit pendarahan selama 12 tahun itu jugalah yang menjadi dasar pijakan bagi pendefenisian manusia sebagai ‘makhluk ke-belum-an’ tadi. Situasi sakit adalah tanda ‘ke-belum-an’ itu sendiri. Sakit juga bisa berarti belum sembuh. Bandingkan dengan dialog batin si perempuan itu; “Asal saja kujamah jubah-Nya, aku akan sembuh” (Mrk. 5:28). Kata “Asal saja” pada kutipan Injil tersebut menyiratkan bahwa, perempuan itu masih dalam pikirannya ‘belum’ terealisasi. Lebih lanjut, secara gamblang dan jujur, Penginjil Markus juga menulis bahwa wanita itu telah mencoba berobat berulang kali kepada beberapa tabib tetapi hasilnya justru semakin memburuk. Ia tetap sakit, menderita dan ‘belum’ juga sembuh. Hingga semua (harta) yang ada padanya pun habis (bdk. Mrk. 5:26).
Menjamah Jubah Yesus
Dalam situasi ‘ke-belum-an’ itulah, kerinduan untuk sembuh menjadi semakin kuat dan mendesak. Si perempuan yang sudah menderita sakit pendarahan selama 12 tahun itu rupanya tidak kehabisan akal dan pengharapan. Pelbagai upaya terus ia lakukan. Dalam usaha-usahanya untuk memperoleh kesembuhan, entah mengapa perempuan itu menjamah jubah Yesus. Menariknya bahwa, persis ‘menjamah jubah Yesus’ itulah sebuah upaya yang belum pernah ia coba. Diluar nalar, ia pun menjadi sembuh.
Menjamah jubah Yesus bisa jadi sebuah usaha perempuan yang sakit pendarahan itu untuk bisa berkomunikasi dengan Tuhan. Tentu usaha komunikatifnya itu tidak lazim. Akan tetapi, karena ia berada dalam kerumunan orang banyak, si perempuan itu tidak memiliki alternatif lain untuk bisa berjumpa dan berkomunikasi dengan Yesus selain menjamah jubah-Nya. Mungkin juga si perempuan itu telah mendengar kabar sebelumnya tentang kuasa Yesus yang telah menyembuhkan pelbagai penyakit dan mengusir setan dari orang-orang banyak. Atas dasar inilah, mulai muncul dorongan dalam hatinya untuk berjumpa dan berkomunikasi dengan Tuhan , katanya: “Asal kujamah saja jubah-Nya, aku akan sembuh”.
Setelah dialog internalnya yang penuh dengan pengharapan, si perempuan itu pun lalu melahirkan dorongan hatinya; “Asal kujamah saja jubah-Nya, aku akan sembuh” dalam bentuk tindakan nyata. Alhasil, ia pun menjadi sembuh.
Dandanan Keselamatan: Belajar Dari Sang Guru
Satu hal penting dan sederhana yang bisa kita petik dari narasi suci hari ini adalah bahwa, pakaian rupanya juga memiliki peranan yang cukup penting dalam hidup kita. Bukan saja sebagai penutup tubuh melainkan juga sebagai sebuah saluran kesembuhan dan keselamatan. Layaknya nama, pakaian bisa mengungkapkan identitas kita. Bahkan pakaian yang selalu kita kenakan itu pada saat-saat tertentu bisa ‘berbicara’ banyak tentang kita daripada mulut kita sendiri. Pakaian adalah lambang yang dapat menyatakan jati diri kita. Karena itu, marilah kita selalu memperhatikan setiap pakaian yang kita kenakan agar menawarkan dan membawa kesembuhan atau bahkan keselamatan bukannya kebinasaan. Mari kita belajar mengenakan dandanan keselamatan dari Sang Guru kita yang sejati, yakni Yesus Kristus. Semoga.
Mahasiswa Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira-Kupang. Pencinta kopi, senja dan novel Jonathan Livingston, Karya Richard Bach.