Aku Dipanggil dengan Namaku

Oleh Sr. Desideria, KYM

Aku Dipanggil dengan Namaku
Sumber Gambar: https://www.balancephysio.com/blog/2015/03/on-learning-how-to-meditate-by-jim-oneil/

Nanti kalau sudah besar, jadi suster ya…’’

ClaretPath.com – Sepenggal kalimat yang tersisa dari kenangan yang dikisahkan mamak kala mengenang masa kecilku di beranda rumah waktu itu. ‘’mamak’’ adalah panggilan yang umum untuk menyebut ‘’ibu’’ di daerahku. Aku dilahirkan lebih dari 26 tahun yang lalu di sebuah desa wilayah pegunungan Sumatera Utara. Disana aku dibesarkan dan mengerti kehidupanku sebagai anak desa yang sederhana, dalam keluarga Katolik sebagai boru siappudan (putri bungsu) dari delapan bersaudara. Saat usiaku baru berumur satu bulan, seorang suster sedang menjalani live in di rumah kami. Waktu itu aku tidak tahu apa artinya. Bahkan mamak yang menceritakan hal inipun tidak bisa menyebutnya. Mamak hanya bilang, kalau suster itu tinggal dirumah selama lebih dari satu bulan. Dan aku pikir, itu adalah program live in yang biasa dijalankan kaum religius. Dialah yang kumaksudkan mengatakan harapan kalau kelak, aku akan menjadi sepertinya. Dia pulalah yang memberiku nama, nama kecilnya yang dipadukan dengan nama biaranya. Istimewa bukan?

Di desa kami, Kristen adalah kelompok minoritas. Sangat-sangat sedikit pemeluknya. Kebanyakan adalah kaum muslim yang bersuku campuran. Budaya di desaku terbilang kompleks, Minang, Batak, Nias, Jawa dan Melayu-pesisir yang disebut orang-orang ‘’Dalle’’. Wajar saja kalau semasa kecilku, aku sendiri tidak paham dengan bahasa suku sendiri, yakni Batak. Apalagi Katolik, yang hanya ada 7 KK (Kepala Keluarga) saja dalam satu stasi. Stasi kecil dengan keadaan bangunan Gereja yang memprihatinkan. Tidak ada tanda-tanda bangunan gereja jika dilihat baik dari luar maupun didalam bangunannya. Namun disanalah imanku sebagai seorang Katolik tumbuh subur dengan rahmat pembaptisan yang kuterima ketika usiaku menginjak empat tahun.

Menjadi suster/biarawati bukanlah cita-citaku sejak kecil. Aku yang terbilang buta dalam hal iman Katolik, doa-doa Katolik, perayaan sabda, apalagi Ekaristi yang hanya dirayakan satu kali dalam tiga bulan saat kunjungan Pastor ke stasi kami. Semasa kecilku, aku banyak diasuh oleh kakak tertuaku yang menikah lebih dahulu sebelum kelahiranku. Karenanya, keponakanku menjadi teman sebaya untukku. Kakak adalah seorang mualaf mengikuti keluarga suaminya. Hal ini membuatku banyak mengetahui ayat doa mereka dan cara sembahyang dalam Islam. Tak jarang aku sering menggunakan doa makan atau tidur secara islam di rumahku. Aku ingat suatu kali di sekolah, ketika diminta memimpin doa sebelum belajar, aku mengucapkan Bismillah… spontan saja semua tertawa.

Baca juga :  Inspirasi Dari Sebuah Dialog

Akupun lebih banyak beribadat ke Gereja dimana teman-teman sebayaku merayakan iman mereka. Gereja Katolik stasiku tidak pernah mengadakan Bina Iman Anak, sebab hanya aku saja yang berusia kanak-kanak. Lagipula, ibadat di Gereja stasi kami berbahasa Batak yang tidak kumengerti. Aku menempuh pendidikan di sekolah berstatus Negeri, sejak pendidikan dasar sampai Menengah Atas, yang sama sekali tidak menyentuh Pendidikan Agama Katolik. Selama menempuh pendidikan di SMA, aku tinggal dirumah seorang pendeta gereja Protestan Kharismatik. Terbiasa dengan ibadah yang demikian sejak kecil, Kharismatik tidak asing lagi bagiku. Aku paham betul tata ibadat mereka yang diwajibkan setiap harinya, bahkan selalu disertakan dalam pelayanan mereka kemanapun, dan banyak mengikuti KKR. Bahkan aku menyambut Perjamuan Kudus dalam gereja Kharismatik, sebelum aku menyambut komuni pertama ketika hendak melaksanakan Ujian Akhir kelulusan di SMA. Artinya, aku baru sambut pertama ketika hendak lulus SMA. Proses dan pergulatan panjang ketika aku memilih menjadi seorang Katolik dengan menyambut Komuni. Kembali pada identitas baptisanku.

Sekali waktu, aku mengikuti retret yang diadakan Sekolah, dengan kehadiran Guru Agama Katolik yang baru serta seorang Suster yang mengajar dengan sukarela sejak dikelas 2 SMA. Ketika diadakan Ekaristi, aku justru kebingungan. Apakah aku harus turut dalam barisan penyambut komuni atau tidak. Akhirnya aku putuskan untuk tidak. Setelah Ekaristi, aku ditanyai oleh guru Agamaku dan mengaku diri belum sambut pertama. Tetapi waktu itu aku bersikap biasa saja. Walau dalam hatiku sedikit terganggu dengan bisikan, ‘’Apa pentingnya Sambut Pertama itu’’. Dengan peristiwa itu, Suster dan guru agamaku mengusahakan hingga akhirnya aku mendapat pengajaran komuni pertama dengan waktu yang singkat dan dapat menyambut komuni. Mengaku dosa pertama kalinya dihadapan Bapa Uskup Agung Medan. Pertama kalinya aku merasa sesuatu yang berbeda tinggal didalamku. Tidak seperti roti sajian perjamuan kudus yang selama ini kusambut di gereja lain. Sakral, Agung, dan Kudus, dan rasanya tanganku tidak layak menyambut kala itu. Aku juga disarankan untuk mulai ikut misa di Gereja Paroki yang tidak jauh dari kost tinggalku. Aku menyanggupinya atas permintaan Bapak, dan Aku mulai belajar iman Katolik yang rumit dengan rumusan-rumusan doa, ritus dan ajarannya. Aku juga mulai mengenal Suster yang melayani di gereja Paroki. Aku mulai ikut perayaan sabda di Gereja stasiku dan mengambil peran sebagai pemazmur, bahkan setiap Minggunya. Aku mulai belajar bahasa Batak, dan aku menikmati semua itu. Aku seperti dilahirkan kembali.

Baca juga :  Kritik Sebagai Seni dalam Berdemokrasi

Setelah lulus SMA, aku memutuskan untuk tidak melanjutkan ke perguruan tinggi dulu. Aku merasa ingin menunda sampai tahun depan karena merasa jenuh dengan tuntutan belajar, serta menjadi waktu tenggang untuk memulai menjawab panggilan ini. Pada suatu kesempatan, Suster yang mendampingiku di SMA datang untuk kunjungan keluarga dan menginap di kediaman kami. Kehadiran Kaum Religius memang selalu menjadi kebanggaan umat kecil kami, kecuali aku. Awalnya aku merasa malu dan tidak nyaman dengan kehadirannya karena menjadi moment untuk mengisahkan kenakalanku yang jarang sekali mengikuti pembinaan Agama Katolik di sekolah. Aku hanya bisa pasrah menahan malu.

Seiring berjalannya waktu, entah bagaimana pendekatan Suster dengan Bapak, aku disertakan dalam karya kerasulan para suster. Aku tak dapat menolak kala diminta ikut merasul. Pastoral adalah karya yang terkenal dari pelayanan para suster dari Kongregasi Suster Kasih dari Yesus dan Maria, Bunda Pertolongan Baik, atau yang dikenal sebagai Suster KYM, sebuah Kongregasi Misionaris dari Belanda yang melayani kebutuhan iman umat di Paroki kami. Pertama kalinya aku mendapat kesan luarbiasa akan panggilan menjadi Suster yang siap melayani tanpa lelah. Pikirku, mereka Wanita-wanita tangguh, cantik, mandiri, tetapi mengapa mau hidup sendiri dengan tugas yang tidak mudah. Berjuang dalam medan perjalanan yang tak mudah untuk mencapai kediaman umat, menyapa mereka yang serba kekurangan. Tidak selalu tersedia air dan makanan yang bersih, lingkungan yang kumuh penuh debu dan kadang berlumpur, anak-anak yang tidak bersekolah dan sebagainya, namun menyatu dalam hangatnya tawa saat bersama dengan sapaan Suster.

Diperkenalkan sebagai ‘’Calon Suster’’ kemanapun dibawa merasul, membuatku terasa asing. Rasanya, aku tidak lagi menjadi diriku. Tidak nyaman dengan sebutan itu, namun alih-alih akupun tidak dapat menolaknya. Seperti ketika aku ditanyai oleh Suster, apakah tidak berniat bergabung dalam panggilan seperti mereka. Suatu harapan dan cita-cita yang tak pernah terlintas dibenakku. Kufikirkan perkenalan dan pengalaman singkat menjadi seorang Katolik yang menghantarkanku sejauh ini, dan aku menikmatinya. Aku seperti telah hidup untuk kedua kalinya dalam dunia yang baru. Jauh lebih memaknai dan mensyukuri hidup yang sederhana dan ingin melayani orang-orang sederhana. Aku telah meninggalkan apa yang ada dibelakangku, dan berlari-lari mengejar apa yang ada dihadapanku, hingga akhirnya tak dapat menguasai hatiku untuk berkata ‘’YA’’ pada panggilan ini.

Baca juga :  Menjadi Seperti Malaikat

Juli 2016, kubulatkan tekad untuk memulai hidup membiara sebagai Juvenis KYM yang berpusat di Pematangsiantar- Sumatera Utara. Walau tanpa restu Mamak dan saudara-saudariku. Termasuk pada pilihan untuk meninggalkan seseorang yang spesial bagi Kalangan remaja sepertiku waktu itu. Hanya Bapak seorang yang memberi izin untuk menjawab panggilan ini, karena aku adalah boru Siappudan yang bagi orang batak diharapkan akan tinggal merawat kedua orangtua dan memiliki masa depan yang sesuai harapan mereka. Tetapi, kuyakinkan mereka, kalau masa depanku adalah apa yang sekarang kujalani, yakni menjadi puteri-puteri Kasih dalam persaudaraan KYM, yang membuka mataku untuk sebuah dunia baru yang lebih baik dengan kesederhanaan. Karenanya, dengan langkah pasti dan berbekal doa, aku berangkat menuju rumah Postulan KYM tanpa ditemani keluarga. Disana aku memulai segala sesuatu, berdoa dan bekerja dengan cara hidup yang sederhana dari semangat St. Vincentius a Paulo. Terpisah jauh dari keluarga dan jarang berkomunikasi membuatku mengerti arti sebuah kerinduan. Berkali-kali mendapat pesan dari keluarga agar kembali ke rumah, membuatku semakin kuat dalam doa dan harapan, hingga membuat tekadku bulat menjalani setiap masa pembinaan dan mengikrarkan janji Prasetia sampai hari ini.

Walaupun pilihanku menjadi keputusan yang sulit, kesedihan bahkan penolakan untuk keluarga besarku, aku percaya Tuhan menjanjikan sebuah harapan yang indah. Tak ada yang lebih besar daripada cintaNya yang memikatku sejak aku dilahirkan dan diberi nama yang indah. Inilah harapan yang dijanjikan sejak semula bagiku, dan aku hanya mencoba memenuhi undangan itu. Satu-satunya harapan yang menyimpan misteri yang sampai hari ini tak kutemukan jawabannya, mengapa Tuhan menetapkan jalan ini padaku. Panggilan itu misteri dan Anugerah. Karenanya hanya perlu menjalani, menikmati dan mensyukurinya untuk menjadi kasih Tuhan bagi sesama. Aku dipanggil menjadi pemenuhan harapan itu. Karenanya, aku adalah Desideria.